Film Conclave dari Perspektif Iman Katolik
Keberadaan film Conclave yang dirilis Hollywood menuai catatan kritis terutama dari sudut pandang Katolik. Film tersebut menghadirkan drama politik penuh intrik dalam proses pemilihan Paus, yang bagi umat Katolik adalah peristiwa sakral yang dipandu oleh Roh Kudus.
Dari sudut pandang Katolik ada beberapa catatan kritis yang perlu dikaji untuk panduan bagi umat Katolik ketika menonton, antara lain :
1. Konklaf bukanlah drama politik tetapi peristiwa iman. Dalam tradisi Katolik, Konklaf bukanlah arena politik atau perebutan kekuasaan tetapi merupakan proses doa,.discermen, dan bimbingan Roh Kudus bagi para Kardinal dalam memilih pemimpin Gereja. Film Conclave lebih menekankan intrik politik atau menampilkan para kardinal sebagai sosok yang lebih didorong oleh ambisi pribadi akan kuasa dan mengabaikan esensi panggilan menjadi Imam, Uskup,.Kardinal, dan Paus dalam Gereja Katolik. Sejarah Gereja memang mencatat adanya peristiwa Konklaf yang kontroversi, terutama pada abad-abad pertengahan dan renaisans. Tetapi, dewasa ini prosesnya lebih terstruktur, transparan, dan mengakar dalam doa dan kesadaran akan tanggung jawab rohani.
2. Stereotip Kardinal sebagai tokoh bermoral rendah. Salah satu kritik utama yang muncul terhadap film ini adalah bagaimana penggambaran terhadap para Kardinal dimana mereka ditampilkan sebagai tokoh yang korup, amoral atau lebih mengutamakan kepentingan duniawi daripada panggilan Suci mereka untuk menciptakan stereotip anti klerus dan anti Katolik. Dalam realitasnya, meskipun ada individu yang lemah dan berdosa dalam gereja mayoritas pemimpin Gereja Katolik berusaha menjalani panggilan mereka dengan kesetiaan dan integritas. Stereotip semacam ini sering muncul dan khas dalam film-film Hollywood yang memiliki kecenderungan sinis terhadap agama, di mana pemuka agama digambarkan sebagai sosok munafik atau haus kekuasaan. Hal ini tidak hanya mereduksi kompleksitas realitas Gereja Katolik, tetapi juga bisa menyesatkan pemahaman publik tentang kehidupan iman dalam Hierarki Katolik.
3. Ketegangan antara tradisi dan modernitas dalam Gereja Katolik. Tema ketegangan antara kubu konservatif dan progresif dalam Gereja Katolik sering diangkat dalam karya-karya fiksi termasuk dalam film ini. Memang benar bahwa dalam gereja Katolik ada perbedaan pendekatan dalam memahami ajaran dan implementasinya. Tetapi film seringkiali menyederhanakan konflik ini menjadi pertarungan ideologi politik seolah-olah gereja hanya terbelah antara kelompok yang tertutup dan terbuka.
Dalam perspektif Katolik yang benar adalah bahwa Gereja selalu berkembang tanpa meninggalkan warisan iman yang telah diterima dari Kristus dan para rasul. Film Conclave hanya menggambarkan bahwa hanya ada dua pilihan ekstrem di antara modernisasi radikal yang mengabaikan tradisi atau konservatisme buta yang menolak perkembangan sebagai sebuah karikatur yang tidak akurat tentang dinamika yang berkembang di dalam gereja Katolik yang sesungguhnya.
4. Unsur-unsur fiksi yang menyesatkan. Beberapa film bertema Katolik seringkiali menggunakan unsur fiksi yang terlal terlalu jauh dari realitas, sehingga menyesatkan penonton yang kurang memahami "Bagaimana Gereja Katolik berfungsi." Dalam film Conclave terdapat plot twist atau pengungkapan rahasia yang bertentangan dengan doktrin Katolik yang merupakan kesalahpahaman tentang gereja Katolik.
Sebagai contoh, film ini seolah mengimplikasikan adanya konspirasi besar di Vatikan yang mengarah pada pemilihan seorang Paus dengan motif tersembunyi. Hal itu lebih condong kepada teori konspirasi ala De Davinci Code daripada representasi nyata tentang kehidupan Gereja Katolik.
5. Bagaimana umat Katolik harus menyikapi film ini. Dari perspektif Katolik, film seperti Conclave harus disikapi dengan pemahaman kritis. Jika seseorang menontonnya, perlu diingat bahwa ini adalah karya fiksi yang tidak menggambarkan realitas Konklaf secara utuh. Umat Katolik sebaiknya tidak menelan mentah-mentah narasi film ini, tetapi justru melihatnya sebagai kesempatan untuk mendalami ajaran gereja tentang; Bagaimana pemilihan Paus benar-benar berlangsung.
Kesadaran akan bias media juga penting, mengingat banyak produksi film yang seringkali memiliki agenda tertentu dalam menggambarkan institusi religius. Sebagai umat Katolik, penting untuk tetap berpegang pada pengajaran gereja, membaca sumber yang kredibel, dan mendiskusikan film semacam ini dengan sikap yang seimbang tanpa paranoid berlebihan, tetapi juga tidak naif terhadap kemungkinan distorsi kebenaran.
Kesimpulan
Film Conclave tampaknya lebih condong sebagai thriller politik dengan elemen fiksi yang kuat daripada representasi yang akurat tentang proses pemilihan Paus.
Ketika film ini terlalu menyoroti intrik kekuasaan dengan mengabaikan aspek rohani dari Konklaf, maka film ini dapat dianggap sebagai penyederhanaan yang tidak adil terhadap Gereja Katolik atau lebih kepada propaganda anti Katolik dan upaya delegitimasi otoritas Paus yang dipilih melalui Konklaf.
Bagi umat Katolik, film ini bisa menjadi pemicu refleksi tetapi tidak boleh menggantikan pemahaman yang benar tentang bagaimana Gereja Katolik dijalankan. Jika ingin mengetahui lebih dalam tentang Konklaf lebih baik merujuk kepada sumber-sumber resmi Gereja Katolik seperti Kitab Hukum Kanonik KHK) dan sejarah Konklaf yang didokumentasikan dengan baik oleh para sejarawan Katolik.
Selamat menonton di akhir pekan bersama keluarga dana orang - orang-orang kesayangan.
Salve
Transkriptor : John Lobo
Selesai
Komentar
Posting Komentar