Conclave : Film Fiksi dan Propaganda Anti Katolik

 

Film Conclave yang dirilis akhir 2024 berdasarkan novel karya Robert Harris, bukanlah film dokumenter atau penggambaran realistis dari proses pemilihan Paus, tetapi lebih merupakan drama politik fiktif yang cenderung menyoroti intrik dan ketegangan internal di dalam hierarki Gereja Katolik.

Jika ditelaah secara kritis, film ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari tren sinema modern yang mencoba mereduksi peristiwa sakral dalam gereja menjadi sekadar narasi kekuasaan duniawi. Ini kesan pribadi saya setelah menonton dan merenungkan narasi film ini beberapa waktu. Beberapa catatan penting mengenai film tersebut antara lain :

  1. Upaya delegitimasi otoritas Paus melalui representasi Kardinal yang korup. Salah satu indikasi bahwa film Conclave mengandung agenda anti Katolik adalah penggambaran sistem pemilihan Paus sebagai arena pertarungan ambisius individu-individu yang lebih termotivasi oleh kepentingan pribadi daripada keutamaan rohani. Ketika film ini menggambarkan bahwa para Kardinal secara umum adalah sosok yang korup, tidak bermoral atau hanya berorientasi politik, maka ini merupakan distorsi besar terhadap realitas sesungguhnya dari gereja Katolik.  Realitas historis menunjukkan bahwa meskipun ada insiden politik dalam Konklaf tertentu Gereja Katolik selalu menekankan pemilihan paus sebagai proses yang digerakkan oleh doa dan pertimbangan rohani yang mendalam. Gereja Katolik memandang otoritas Paus sebagai penerus Rasul Petrus yang dipilih di bawah bimbingan Roh Kudus, bukan sekadar produk dari negosiasi politik ala dunia sekuler. Ketika film ini menyiratkan bahwa setiap Paus hanyalah hasil dari permainan politik yang kotor, maka ia berusaha mendelegitimasi posisi Kepausan sebagai institusi rohani yang memiliki keabsahan Ilahi. Iini merupakan elemen propaganda yang berbahaya karena membentuk opini publik bahwa pemimpin Gereja Katolik tidak lebih dari seorang kepala negara biasa yang dipilih melalui kompromi dan lobi kekuasaan.
  2. Upaya memisahkan gereja dari dimensi supranatural. Film ini (Conclave) seperti banyak produksi fiksi bertema religius dari barat cenderung mengabaikan dimensi Ilahi dan spiritual Gereja Katolik,.dan justru menekankan aspek politik serta ketidaksempurnaan manusiawi dalam Hierarki Gereja. Ini adalah pola umum dalam film-film anti Katolik, mereka jarang atau bahkan tidak pernah menunjukkan bahwa banyak Kardinal dan Paus sepanjang sejarah adalah individu yang sangat saleh dan berkomitmen penuh pada iman mereka. Ketika Conclave hanya menampilkan sisi gelap Konklaf tanpa keseimbangan dengan aspek rohani tanpa adegan yang menunjukkan doa para Kardinal, penyertaan Roh Kudus atau kesungguhan hati dalam menjalankan tugas suci, maka ini adalah penyimpangan yang disengaja. Tujuan dari penyimpangan semacam ini adalah membentuk persepsi bahwa gereja hanyalah lembaga manusiawi yang tidak memiliki dimensi transenden.
  3. Kaitan dengan trend sinema anti Katolik di dunia barat. Sejarah sinema modern telah menunjukkan bahwa banyak film yang secara halus atau terang-terangan merendahkan Gereja Katolik, misalnya The Da Vinci (2006) yang mempopulerkan teori konspirasi bahwa gereja menyembunyikan kebenaran tentang Yesus. Berikutnya film The Two Popes (2019) yang menggambarkan seolah-olah ada konflik ideologis mendalam antara Paus Benediktus VI dan Paus Fransiskus meskipun dalam kenyataannya hubungan mereka jauh lebih harmonis. Film Spotlight (2015) yang meskipun berbasis kisah nyata tentang skandal pelecehan seksual di gereja, tetap berkontribusi pada narasi bahwa gereja adalah institusi yang penuh kemunafikan. Film Conclave tampaknya melanjutkan tren ini dengan cara yang lebih halus, tetapi tetap berpotensi merusak citra Gereja Katolik di mata publik. Ketika narasi yang dibangun adalah bahwa semua pemimpin gereja hanyalah orang-orang haus kekuasaan, ini adalah bagian dari agenda sekularisasi yang bertujuan melemahkan otoritas moral gereja dalam dunia modern.
  4. Kemungkinan aktor intelektual di balik film ini. Meskipun tidak ada bukti langsung bahwa film ini didanai atau dipengaruhi oleh kelompok Protestan anti katolik kita perlu memahami bahwa propaganda tidak selalu bersumber dari satu kelompok yang eksplisit. Dunia perfilman barat didominasi oleh pandangan liberal sekuler yang seringkali memusuhi institusi Katolik karena ajarannya tentang moralitas, keluarga, dan kehidupan. Film seperti Conclave dapat muncul bukan karena konspirasi terencana dari kelompok, tertentu tetapi karena bias bawaan dalam industri hiburan yang lebih menyukai narasi yang meragukan atau mendiskreditkan otoritas Gereja. Bias ini telah mengakar selama beberapa dekade sehingga wajar jika film-film yang diproduksi dalam lingkungan ini seringkiali tidak bersimpati terhadap tradisi Katolik. 
  5. Umat Katolik sebaiknya menyikapi film ini dengan sikap kritis tetapi tidak reaktif secara emosional. Beberapa langkah yang dapat diambil yakni; Pertama, memahami konteks sejarah Konklaf yang sebenarnya agar tidak terpengaruh oleh penyimpangan yang ada dalam film. kedua, mengembangkan literasi media, agar bisa membedakan antara fiksi yang didramatisasi dan realitas gereja yang sejati. Ketiga, tidak terjebak dalam narasi yang dirancang untuk memicu skandal atau kontroversi tetapi menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan kepada publik tentang bagaimana gereja sebenarnya beroperasi. Sebagai perbandingan gereja Protestan seringkali merespons film yang dianggap menghina Yesus atau keyakinan mereka dengan keras bahkan menyerukan boikot. Namun Gereja Katolik lebih cenderung mengambil pendekatan intelektual dan apologetik yaitu dengan memberikan klarifikasi dan menunjukkan dimana letak kesalahan atau ketidakseimbangan dalam penggambaran yang dibuat oleh media. 

Kesimpulan 

Film Conclave menunjukkan pola yang umum dalam industri film barat yaitu menyoroti sisi politik dalam gereja sambil mengabaikan dimensi spiritualnya. Ketika film ini secara konsisten menggambarkan Kardinal sebagai tokoh yang korup dan tidak beriman serta menyeratkan bahwa pemilihan paus hanyalah hasil dari kompromi politik yang kotor, maka jelas bahwa film ini memiliki tendensi antikatolik dan bertujuan untuk mendiskreditkan otoritas gereja.

Apakah ada aktor Protestan antikatolik di balik film ini? Tidak ada bukti langsung, tetapi film ini tetap sejalan dengan pola sekularisasi yang telah lama berusaha mengikis pengaruh Gereja dalam masyarakat. Oleh karena itu umat Katolik harus waspada dan tidak serta-merta menerima narasi yang dibangun dalam film ini sebagai cerminan dari realitas gereja yang sesungguhnya. 

Sumber : VT P. Marsel, SMM

Transkriptor : John Lobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan

Menakar Peluang PSN Ngada di Liga 4 ETMC NTT

Panggilan Hidup Membiara