Desa Digital: Potensi dan Tantangannya

Kesenjangan pembangunan merupakan hal yang sampai saat ini masih terjadi di Indonesia. Kesenjangan tersebut terjadi antarwilayah serta antar kota dan desa. Kesenjangan yang terjadi antar kota dan desa juga terjadi dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. Desa digital merupakan salah satu program untuk mengurangi kesenjangan arus informasi yang terjadi di desa. Konsep desa digital merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dalam pelayanan publik dan kegiatan perekonomian. Dengan adanya desa digital diharapkan pelayanan publik dapat meningkat dan pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi berkembang.

Desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Hal ini dinyatakan dalam salah satu Nawacita Jokowi yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, yang diikuti dengan strategi pembangunan nasional. Berdasarkan RPJMN 2015-2019 pembangunan harus dapat menghilangkan/memperkecil kesenjangan yang ada, termasuk kesenjangan antarwilayah dan antar desa dengan kota.

Dalam jangka panjang, kesenjangan pembangunan antarwilayah dapat memberikan dampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat sehingga menjadi masalah serius yang harus dapat diselesaikan kedepannya. Kesenjangan antarwilayah terlihat dari masih terdapatnya 122 kabupaten yang merupakan daerah tertinggal. Kesenjangan kota dan desa dapat terlihat dari laju urbanisasi yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Saat ini, laju urbanisasi di desa sebesar 1,2 persen setiap tahunnya (Detik.com, 2018). Kesenjangan pembangunan antara kota dan desa tidak dapat dilepaskan dari dampak sebaran demografi dan kapasitas ekonomi yang tidak seimbang serta kesenjangan ketersediaan infrastruktur yang memadai, termasuk kesenjangan.teknologi informasi dan komunikasi (Darwis, 2016). Menurut Kemkominfo, jumlah desa yang belum tersentuh  teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sekitar 40 persen di tahun 2017. Kesenjangan-kesenjangan inilah yang menyebabkan desa menjadi sulit berkembang. Menurut data BPS, jumlah desa dengan status tertinggal masih mendominasi dari jumlah seluruh desa di Indonesia.

Di sisi lain, perkembangan teknologi yang sudah memasuki revolusi industri 4.0 akan memberikan tantangan tersendiri dalam hal berjalannya pemerintahan dan ekonomi desa. Desa harus mampu beradaptasi mengikuti kemajuan teknologi tersebut agar tidak tertinggal dalam segala bidang serta mendukung roadmap pemerintah Indonesia “Making Indonesia 4.0”. Salah satu cara  yang dapat ditempuh untuk mempersiapkan desa memasuki revolusi industri 4.0 yaitu dengan cara mengurangi kesenjangan digital antara kota dan desa serta mendigitalisasi desa-desa dengan konsep desa digital.

Desa Digital Sebagai Katalisator Perbaikan Layanan Publik dan Ekonomi

Desa digital merupakan konsep program yang menerapkan sistem pelayanan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat berbasis pemanfaatan teknologi informasi. Program ini bertujuan untuk mengembangkan potensi desa, pemasaran dan percepatan akses serta pelayanan publik. Dalam desa digital, pelayanan publik akan bersifat digital dengan terkoneksi melalui jaringan nirkabel. Pelayanan yang bersifat digital akan mendorong peningkatan layanan publik di desa-desa dan mempermudah perangkat desa untuk melakukan evaluasi dan perbaikan layanan dengan basis data yang nantinya dimiliki. Selain itu, desa digital juga akan memperlancar penggunaan aplikasi sistem keuangan desa (Siskeudes) sehingga pengelolaan keuangan desa termasuk dana desa dapat lebih transparan dan akuntabel. Dalam konteks ekonomi, desa digital dapat dijadikan sebagai katalisator peningkatan kinerja ekonomi desa dan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Pada desa digital direncanakan akan memiliki website dan akun media sosial untuk promosi dan berita, sistem e-commerce serta aplikasi yang sesuai dengan karakter dan potensi ekonomi di tiap desa.

Hingga saat ini, pembentukan beberapa desa digital merupakan kolaborasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dalam pembentukan desa digital, pemerintah daerah mengajukan usulan kepada Kemkominfo sebagai pihak yang menyediakan layanan internet. Sebelum ada program desa digital, telah ada program serupa yaitu desa broadband terpadu yang dijalankan oleh Kemkominfo bagi desadesa yang termasuk dalam daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Desa broadband terpadu merupakan upaya pemerintah menjangkau desadesa agar dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi guna meningkatkan kesejahteraannya. Desa Mandalamekar di Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Rawabiru di Kabupaten Merauke merupakan contoh dua desa broadband dari 278 yang sudah dibentuk oleh Kemkominfo. Dengan program desa broadband terpadu, Kemkominfo melalui BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi)1 menyediakan jaringan, perangkat, aplikasi yang sesuai dengan karakteristik penduduk, dan pendampingan yang tepat untuk masyarakat di desa 3T dan lokasi prioritas (LokPri) yang meliputi desa petani, desa nelayan dan desa pedalaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan memperluas akses ke pasar.

Melalui penerapan teknologi dan informasi di desa digital diharapkan produktivitas dapat meningkat mengikuti kisah sukses desa lainnya dalam penggunaan internet contohnya desa Majasari di Kabupaten Indramayu. Dengan adanya internet, masyarakat di desa tersebut memperoleh perbaikan dalam cara pertanian dan peternakan organik. Desa Majasari menerapkan teknologi pengolahan pakan dari limbah pertanian untuk penyediaan pakan ternak. Limbah peternakan kemudian digunakan sebagai pupuk di lahan pertanian. Desa Majasari sejak beberapa tahun lalu telah beralih ke pertanian organik. Dengan keberadaan internet, produk pertanian dan peternakan di desa Majasari dapat dipasarkan hingga ke penjuru tanah air sehingga meningkatkan perekonomian desa. Hal tersebut membuat desa Majasari berhasil menurunkan tingkat kemiskinan pada angka 8,24 persen dan meraih peringkat satu desa terbaik tahun 2016.

Selain desa digital yang telah disebutkan sebelumnya, masih terdapat desa-desa digital lain yang sudah terbentuk dan tersebar di berbagai provinsi meskipun tidak diketahui sampai sejauh mana proses digitalisasi yang sudah ada di desa digital lainnya (Gambar 2). Desa digital yang terbentuk diharapkan tidak hanya desa dengan fasilitas internet atau wifi saja. Namun lebih jauh lagi, masuknya akses internet ke desadesa digital tersebut harus mampu meningkatkan potensi ekonomi desa dan pemberdayaan masyarakat (misalnya: pemasaran atau promosi produk-produk BUMDES) serta meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi masyakarat desa.

Tantangan Mewujudkan Desa Digital

Desa digital merupakan sebuah konsep yang mensyaratkan tersedianya jaringan informasi dan komunikasi yang memadai. Namun, masih banyak wilayah di Indonesia dengan kondisi TIK yang masih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Menurut data Potensi Desa Badan Pusat Statistik tahun 2018 masih ada sekitar 62 persen desa yang tidak tersedia BTS (Base Transceiver Station)2. Dari sisi kekuatan sinyal telepon seluler dan sinyal internet, masih banyak desa-desa yang kekuatan signalnya lemah dan bahkan tidak ada, yakni 34 persen untuk sinyal telepon dan 21,6 persen untuk sinyal internet. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam membentuk desa digital.

Tantangan lainnya untuk mewujudkan desa-desa digital adalah butuh dukungan pendanaan yang cukup besar. Saat ini, desa digital merupakan hasil kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat melalui BAKTI Kominfo dan juga pihak-pihak lainnya. BAKTI Kominfo bertugas menyediakan akses internet dengan menggunakan dana USO (Universal Service Obligation) bagi desa yang mengajukan usulan melalui pemerintah daerah untuk menjadi desa digital. Sedangkan perangkat dan aplikasi disediakan oleh pemerintah daerah dengan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyediaan perangkat dan aplikasi ini membutuhkan dana yang relatif besar. Di sisi lain, masih banyak daerah-daerah (khususnya kabupaten) yang kapasitas keuangannya rendah dan masih sangat bergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat. Guna meminimalkan dana sementara dapat dibentuk pusat digital di desa yang dapat diakses oleh semua masyarakat sehingga dapat dikontrol penggunaannya. 

Tantangan berikutnya adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengelola berbagai layanan berbasis teknologi informasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa di desa-desa masih terdapat aparat dan masyarakat desa yang belum melek internet dan teknologi. Penetrasi pengguna internet tahun 2017 berdasarkan kota/kabupaten terkonsentrasi di area rural sebesar 48,25 persen (APJII, 2017). Untuk penguasaan komputer, rilis BPS dalam Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) menunjukan bahwa nilai indeks persentase rumah tangga di Indonesia yang menguasai komputer hanya bernilai 2 dari skala 0 – 10. Hasil survei dan IP-TIK BPS ini dapat dijadikan parameter yang menunjukkan bahwa melek internet dan teknologi di pedesaan masih relatif rendah. Selain itu, masyarakat desa masih memegang budaya yang kuat yang mungkin dapat menjadi penghambat dalam masuknya sesuatu yang baru dari luar seperti internet. Adanya kontenkonten negatif dari akses internet juga menjadi tantangan tersendiri dalam pengadaan desa digital. Dengan demikian maka dibutuhkan sosialisasi, pendampingan, dan literasi digital terhadap SDM dan masyarakat desa yang disesuaikan dengan karakteristik dan budaya masyarakat. Saat ini telah ada pendampingan dari relawan TIK terhadap desa digital namun jumlahnya terbatas sehingga diperlukan keterlibatan pihak lain dalam pendampingan dan literasi digital.

Rekomendasi

Untuk mewujudkan desa digital yang optimal diperlukan berbagai langkah-langkah dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pertama, perlu adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak dalam hal pendanaan, pendampingan, pelatihan serta literasi digital baik dari pemerintah pusat, pihak swasta, akademisi maupun masyarakat. Kedua, sinergi dengan program desa broadband terpadu dengan menitikberatkan pada pengembangan aplikasi digital yang terutama pada desa-desa dengan karakteristik yang sama. Ketiga, pemerintah perlu mendorong pengelolaan dana desa yang diarahkan untuk mendukung terwujudnya desa digital yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh BUMDes dalam mengoptimalkan kinerjanya.

(Sumber : Buletin APBN Vol.IV,Edisi 8, Mei 2019 : Pusat Kajian Anggaran/Badan Keahlian  DPR)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Panggilan Karya/Profesi

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan