Dana Bagi Hasil 2020 Tekan Ruang Fiskal Daerah

 

Dalam transfer ke daerah dikenal dengan konsep trilogi dana perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK. Ketiganya saling berhubungan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pemerataan pembangunan untuk mengatasi ketimpangan fiskal vertikal horizontal. Pada saat DBH meningkat, pada umumnya DAU dan DAK menurun, demikian pula sebaliknya dan prinsip ini digunakan dalam perhitungan DAU dan DAK per daerah. Adanya pandemi Covid-19 diprediksi akan menggerus pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang secara langsung akan berpengaruh negatif pada besaran pendapatan negara terutama penerimaan perpajakan. Hal ini membuat pendapatan daerah khususnya DBH berkurang sehingga dapat menekan ruang fiskal daerah dan berimplikasi terhadap pelayanan public.

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berbeda dengan Dana Alokasi Umum (DAU) yang bertujuan mengatasi ketimpangan fiskal horisontal (perbedaan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal antara daerah satu dengan daerah lainnya), DBH ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan fiskal vertikal (perbedaan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal antara pusat dengan daerah). Pembagian DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin, dimana DBH dibagi dengan perimbangan daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut, meskipun penggunaan DBH diserahkan pada Pemerintah Daerah (Pemda) namun ada sebagian yang dialokasikan untuk bidang kesehatan (50 persen dari Cukai Hasil Tembakau).

DBH meliputi DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Dalam skema DBH Pajak, pemerintah pusat mendapatkan alokasi yang lebih besar dari daerah. Sementara pada DBH SDA, daerah mendapatkan bagian yang lebih besar daripada pemerintah pusat (Tabel 1). Namun pemerintah pusat juga memperhatikan alokasi yang merata untuk kabupaten sekitar daerah penghasil. Munculnya Covid-19 membuat alokasi penerimaan DBH terancam mengalami penurunan. Untuk itu, tulisan ini akan mengulas bagaimana DBH pada tahun 2020, dan pengaruhnya terhadap ruang fiskal pemda, serta dampak terhadap pelayanan publik.

Penyesuaian DBH

Pada APBN 2020, DBH mendapatkan alokasi anggaran Rp117,58 triliun. Namun adanya pandemi Covid-19 diprediksi akan menggerus pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang secara langsung akan berpengaruh negatif pada besaran pendapatan negara terutama penerimaan perpajakan (PPh Non Migas, PPN, PBB, cukai, pajak lainnya, dan bea masuk). Hal ini mengingat basis dari perpajakan adalah aktivitas perekonomian yang mayoritas berada di sektor industri pengolahan, perdagangan, jasa keuangan dan asuransi, pertambangan, konstruksi, real estate, transportasi, dan pergudangan. Penurunan pertumbuhan ekonomi juga diprediksi akan memengaruhi kemampuan masyarakat maupun pengusaha, dimana mereka akan mendahulukan kebutuhan yang lebih prioritas dan memilih menunda kewajiban pembayaran PBB. Selanjutnya, sektor pertambangan yang berkontribusi hampir 95 persen atas PNBP juga turut terdampak, ini diakibatkan pembatasan yang terjadi di hampir semua negara menyebabkan permintaan akan minyak mentah, batubara dan minerba menurun, yang pada akhirnya memengaruhi terhadap harga komoditas sektor pertambangan. Lebih lanjut, adanya perubahan pendapatan negara maka belanja negara juga diperkirakan mengalami penurunan antara lain anggaran transfer ke daerah khususnya DBH.

 
Situasi tersebut pada akhirnya memaksa pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Dalam Perpres 54/2020 tersebut salah satunya mengoreksi DBH sebesar Rp27,77 triliun menjadi Rp89,81 triliun. Penurunan DBH secara keseluruhan berjumlah 23,6 persen namun secara rata-rata terjadi penurunan sejumlah 14 persen terhadap kedelapan item DBH. Penurunan terbesar terjadi pada DBH SDA Migas yaitu minus 58,04 persen, yang menarik DBH SDA Panas Bumi justru mengalami kenaikan sebesar 22,92 persen. Kenaikan target ini menurut penulis dikarenakan adanya efisiensi biaya operasi dari kegiatan penguasaan panas bumi serta tetap dilakukannya pelelangan wilayah kerja panas bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Ruang Fiskal Daerah Tertekan

Saat ini mayoritas daerah masih sangat tergantung terhadap dana Transfer ke Daerah (TKD). Tidak banyak daerah yang mempunyai kemandirian fiskal, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan untuk membiayai belanja daerahnya sendiri. Selain itu, ruang fiskal daerah saat ini juga masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin dan belanja yang sudah ditentukan penggunaannya. Pada tahun 2017, ruang fiskal daerah secara nasional sebesar 16,3 persen. Ruang fiskal daerah tertinggi yaitu DKI Jakarta dengan ruang fiskal sebesar 45,6 persen, sedangkan ruang fiskal terendah ditempati Nusa Tenggara Timur dengan besaran ruang fiskal sebesar 7,7 persen.

Dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran (TA) 2018, kontribusi PAD atas pendapatan daerah tercatat 24,6 persen. Dana perimbangan berperan sangat besar dengan persentase 59,9 persen terhadap pendapatan daerah serta dana lain-lain sebesar 15,5 persen. Dari 59,9 persen dana perimbangan tersebut, DAU menyumbang 60,6 persen, DAK sejumlah 25,4 persen sedangkan DBH sebesar 14 persen. Sedangkan secara nasional keterlibatan DBH atas pendapatan daerah sejumlah 8,4 persen, DAU sebanyak 36,3 persen dan DAK sebesar 15,2 persen.

Meskipun secara nasional kontribusi DBH terhadap pendapatan daerah dan dana perimbangan tidak terlalu besar, namun bagi sebagian daerah di Indonesia DBH merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup potensial selain PAD dan DAU dalam membiayai belanja daerah. Namun sayangnya, potensi karakteristik SDA dan sumber pajak di Indonesia sangat beragam sehingga hal itu memengaruhi sumber pendapatan daerah melalui mekanisme TKD. Secara nasional berdasarkan data realisasi APBD TA 2018, dapat kita temui persentase DBH terbesar terhadap Pendapatan daerah untuk Provinsi/Kabupaten/Kota ditempati oleh Kalimantan Timur (28 persen), Bengkalis (67,1 persen), Bontang (45 persen). Dari data 5 besar pada pada Provinsi/Kabupaten/Kota hanya DKI Jakarta yang kontribusi DBH bersumber dari pajak, selebihnya mayoritas daerah masih mengandalkan SDA.

Dengan adanya penyesuaian dana perimbangan akan memengaruhi ruang fiskal daerah, khususnya bagi daerah yang kontribusi DBHnya cukup besar terhadap PAD. Ketika pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh daerah di Indonesia, DBH merupakan salah satu sumber pembiayaan yang dapat diandalkan guna membiayai belanja penanganan Covid-19 di tengah penerimaan daerah yang sedang lesu. Hal ini sempat menjadi polemik pada awal Mei 2020, dimana Pemda DKI Jakarta meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membayarkan DBH 2019 dan sisa Kurang Bayar (KB) DBH 2018 sebanyak Rp5,1 triliun.

Keterlambatan pembayaran DBH akan berdampak terhadap ruang fiskal daerah, sehingga program pembangunan di daerah akan terhambat. Di beberapa daerah keterlambatan penyaluran DBH menyebabkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) di akhir tahun, sehingga tidak dapat dioptimalkan untuk kegiatan tahunan anggaran berjalan.

Dampak Terhadap Pelayanan Publik

Pendapatan daerah yang berupa dana perimbangan dari pusat menuntut daerah membangun dan menyejahterakan rakyatnya melalui pengelolaan kekayaan daerah yang proporsional dan profesional serta membangun infrastruktur yang berkelanjutan, salah satunya pengalokasian anggaran ke sektor belanja modal. Pemerintah daerah dapat menggunakan dana perimbangan keuangan (DBH) untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja modal.

Selanjutnya sejak tahun 2017, pemerintah menerapkan kebijakan paling sedikit 25 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) wajib ditujukan untuk belanja infrastruktur daerah. Alokasi tersebut untuk mempercepat pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar daerah. Jadi dapat disimpulkan jika anggaran DBH meningkat maka alokasi belanja modal untuk penyediaan layanan publik dan ekonomi pun ikut meningkat, sebaliknya jika anggaran DBH yang diperoleh daerah menurun sebagaimana Perpres 54/2020 maka penyediaan layanan publik beserta ekonomi juga turut terganggu.

Terkait pandemi Covid-19, pemerintah melalui Kemenkeu telah memberikan relaksasi penyaluran DBH tahun berjalan dan relaksasi kurang bayar (KB) DBH 2019 untuk keperluan penanganan Covid-19 serta melindungi daerah dari ancaman perekonomian kepada Pemda. Sebagian DBH tersebut digunakan untuk penanganan Covid-19, termasuk belanja infrastruktur 25 persen dari DTU dapat digunakan untuk penanganan Covid-19, baik sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, maupun belanja mendesak lain.

Meskipun demikian, pola belanja dan efektivitas belanja daerah juga sangat memengaruhi peningkatan layanan publik di daerah. Selain itu, faktor lain seperti komitmen politik pimpinan di daerah dan koordinasi antar instansi baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan, sangat memengaruhi keberhasilan peningkatan pelayanan dasar publik di daerah. Program-program dalam APBD sebagian besar didanai oleh DAU, DBH dan PAD. Dalam pemanfaatannya, Pemda cenderung memprioritaskan belanja wajib yaitu belanja pegawai. Hal ini disebabkan formula DAU yang menjadikan belanja pegawai sebagai Alokasi Dasar. Setelah belanja wajib terpenuhi, maka sisa dana tersebut akan digunakan untuk membiayai program prioritas yang menjadi mandatory spending seperti untuk bidang pendidikan sebesar 20 persen dari APBD dan bidang kesehatan sebesar 10 persen dari APBD. Selebihnya baru dialokasikan untuk belanja modal dan belanja program kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam proses penyusunan APBDnya.

Rekomendasi

Secara umum, proses desentralisasi fiskal membawa pengaruh terhadap peningkatan pelayanan publik di Indonesia. Menyikapi penyesuaian DBH yang berimplikasi terhadap ruang fiskal daerah serta dampaknya terhadap pelayanan publik di daerah. Ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, diantaranya: Pertama, memperbaiki kebijakan penyaluran DBH. Jika semula pembayaran kurang bayar DBH TA sebelumnya dibayarkan pada bulan November atau Desember, kini dimajukan menjadi triwulan III. Kedua, memperkuat peran Kementerian Dalam Negeri dalam mengawal proses penyusunan APBD, dengan demikian pemda diharapkan mampu meningkatkan akurasi perencanaan pendapatan daerah serta mengalokasikan belanja program dan kegiatan yang lebih berkualitas. Ketiga, mendorong pemda untuk lebih meningkatkan kualitas belanja daerah melalui penambahan belanja modal dan pelayanan publik serta merasionalisasi belanja pegawai.(sumber : Buletin APBN Vol. V. Ed. 10, Juni 2020)

Catatan :

Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah.

Komentar

  1. ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
    dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
    segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q :-* (f) (f) (f)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Panggilan Karya/Profesi

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan