Gaya Hidup Konsumerisme


Kita harus mengakui bahwa saat ini kita sedang menikmati hasil dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kemajuan dalam berbagai aspek berlangsung dengan begitu cepat. Kemajuan mampu mempengaruhi manusia dalam hal cara pandang atau perspektif, penilaian maupun sikap terhadap sesuatu, termasuk cara pandang, penilaian terhadap ukuran, standar kebahagiaan, kesuksesan, kesenangan dan lain-lain.
Budaya konsumerisme adalah budaya yang ditopang oleh proses penciptaan terus menerus lewat penggunaan citra, tanda dan makna simbolik dalam proses konsumsi. Konsumerisme adalah budaya belanja yang proses perubahan dan perkembangbiakkannya didorong oleh logika hasrat (Desire) dan keinginan (Want) ketimbang logika kebutuhan (Need). Demikian juga kepemilikan kita terhadap sejumlah unsur kebendaan atau materi. Dengan alasan psikologis, orang sepertinya dipaksa untuk seolah-olah harus membeli produk tertentu dengan merek tertentu untuk dibilang modis, keren, lebih PD, dikagumi, cool, up to date, dan lain-lain. Realitas ini sepertinya menjawab bahwa manusia tidak memiliki tingkat kepuasan yang defenitif. Lewat kemajuan dibidang media massa, manusia digiring untuk mengonsumsi sejumlah produk. Berbagai produk yang ditawarkan dikemas dalam bentuk yang menggoda sehingga siapapun pasti terseret untuk memilikinya. Bila tidak tahan uji kita akan menjadi korban. Perusahaan-perusahaan besar yang didukung oleh modal raksasa berhasil menciptakan berbagai bentuk iklan yang mampu menghipnotis masyarakat untuk berlomba-lomba menciptakan persaingan dalam gaya hidup (life style) dan konsumsi antar kelas, antar golongan, antar umur dan sebagainya. Kebutuhan tidak lagi bersifat material tapi simbolik.
Budaya konsumerisme sebagai wacana pelepasan hasrat telah mampu menciptakan apa yang disebut Frederic Jameson sebagai “Konsumen Skizofrenik” yaitu para konsumer yang hanyut dalam kegilaan pergantian produk, gaya, tanda, prestise, identitas tanpa henti tanpa mampu lagi menemukan kedalaman makna dan nilai-nilai transendensi dibaliknya. Kondisi Skizofrenik dapat dilihat dari kehidupan para konsumen yang merasa kebingungan setelah membeli sebuah produk tertentu. Karena sering kali, ketika membeli sesuatu tidak didasari pertimbangan yang matang, sehingga manfaat dan kegunaan dipertanyakan kembali setelah produk tertentu sudah dibeli.
Melalui perilaku ini masyarakat dikonstruksi secara sosial untuk mengelilingi diri mereka dengan barang-barang mewah termasuk gelar dan jabatan untuk memenuhi segala bentuk hasrat (Prestise, Status, Simbol). Dengan hanya ditemani benda-benda disekitarnya, individu dalam masyarakat cenderung mengisolasi dirinya dengan lingkungan sosialnya. Sikap yang berkembang kemudian adalah “Hedonisme” atau sikap mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa perlu pemahaman apa itu tujuan sosial dan tujuan hidup bersama.
Jonathan Porrit mengatakan bahwa Kapitalisme Global dibangun diatas landasan filsafat “Materialisme tak berjiwa” (Mindless Materialism). Ibarat membangun istana diatas pasir. Maksudnya sebuah keyakinan yang kering yang meyakini bahwa material sebagai sumber kebahagiaan sehingga menjadi tujuan hidup, dan tidak ada makna bagi kehidupan selain lewat pemenuhan materi. Materi (uang, mobil mewah, rumah mewah, dan lain-lain) adalah tujuan hidup bukan dipandang sebagai sarana menuju tujuan sebuah kehidupan. Hedonisme akhirnya dapat merusak mental karena orang cenderung tidak mau bersusah payah untuk suatu keberhasilan usaha. Akhirnya bisa meningkatkan kejahatan baik Blue Collar Crime maupun White Collar Crime karena orang lebih memiliki jalan pintas untuk kesuksesannya. Kaum Hedonis tidak tahan menderita karena daya juang hidupnya rendah dan sering mengandalkan kekuatan diluar dirinya seperti kekuatan orang lain, kekuatan materi (uang) dan jabatan. Dalam budaya materialisme orang yang kaya secara materi lebih dihormati dari pada sebaliknya dan orang yang miskin secara materi sering kali diabaikan atau tidak diakui keberadaannya. 
Berhadapan dengan gaya hidup materialisme dan konsumerisme serta sejumlah indikator pendukung dan efek sampingnya, kita seharusnya memiliki respon berupa pemikiran dan sikap yang kontradiktif. Upaya preventif untuk menghindarinya antara lain :

1.       Berpikir kritis dan mampu mengendalikan diri terhadap setiap tawaran gaya hidup konsumerisme yang sedang berkembang saat ini. Berpikir kritis merupakan cara yang paling tepat dan sangat dibutuhkan untuk tidak hanyut dalam gaya hidup yang tidak wajar. Berpikir kritis mengandaikan kedewasaan berpikir, mampu mempertimbangkan baik buruk suatu hal, selektif dan mampu membuat skala prioritas dalam menentukkan kebutuhan-kebutuhan hidup. “Belanja cerdas dan bukan belanja mudah” adalah ungkapan cara berpikir kritis dalam menanggapi berbagai tawaran yang mendorong konsumerisme.
2.       Membangun ketangguhan pribadi (Personal Strength)
Ketangguhan pribadi adalah ketika seseorang berada pada posisi telah memiliki pegangan atau prinsip hidup yang kokoh, jelas dan kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh perubahan lingkungan yang begitu cepat. Ia tidak menjadi korban dari pengaruh lingkungan yang dapat mengubah prinsip hidup atau cara berpikirnya. Prinsip hidup yang dimilikinya bersifat abadi dan tidak mudah goyah walau di terpa badai sekeras apapun. Adanya kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijaksana dengan menyelaraskan prinsip yang dianut dengan kondisi lingkungannya tanpa harus kehilangan pegangan hidup, memiliki prinsip dari dalam diri keluar, bukan dari luar ke dalam dan mampu mengendalikan pikirannya sendiri ketika berhadapan dengan situasi yang sangat menekan.
Seseorang dapat dikatakan tangguh apabila hadir sebagai citra Allah yang terbebas dari berbagai hal yang membelenggu dirinya serta mampu bereaksi terhadap sesuatu sesuai prinsip yang dianut. Ia memiliki pedoman yang jelas dalam mencapai tujuan hidup dan tetap fleksibel serta bijaksana dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan yang riil. Mampu berintrospeksi tentang dirinya sehingga bersikap adil, jujur dan terbuka baik pada diri sendiri maupun orang lain. Ia mampu menikmati hidup walaupun menurut mata telanjang orang lain melihat bahwa ia sedang berada dalam kesengsaraan. Pribadi yang tangguh adalah sosok yang hanya mengandalkan kekuatan Tuhan dan memiliki tingkat kepasrahan kepada Tuhan yang sungguh dalam. Segala perkara hanya dapat ditanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadanya (Filipi 4 : 13).
Profil ketangguhan seorang individu dapat terdeteksi dari cara bagaimana ia menjaga keseimbangan hidup terutama dalam doa dan karya-karyanya. Baginya setiap aktivitas (karya) apapun yang dijalankan adalah ibadah dan seperti apapun profesi yang diembannya adalah upaya perpanjangan tangan Tuhan untuk menyempurnakan kehidupan. Maka bekerja bisa diartikan sebagai sebuah doa (in actionem contemplativus). Pemahaman dalam mengimplementasikan keteladanan Yesus merupakan cara paling efektif untuk menjadi pribadi yang tangguh.
3.       Penghayatan terhadap prinsip prioritas manusia atas unsur kebendaan dan keunggulan Roh atas materi. Belajar dari Yesus, yang mengunggulkan kehendak (firman) Allah dalam menghadapi tawaran-tawaran dari Iblis akan menjadi benteng terakhir bagi setiap orang untuk memerangi gelombang konsumerisme, materialisme dan hedonisme.
4.       Plain living, high thinking or think globally, act locally.
Globalisasi ditandai dengan sebuah kompetisi yang sangat keras. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk memenangkan persaingan adalah memiliki daya tahan (durability) dan daya saing yaitu “Produktivitas”. Untuk mengatasinya kita harus memiliki sikap produktif (tidak konsumtif) dan berperilaku hidup sederhana tetapi berpikiran tinggi / global / maju.
Realitas terkadang berkata lain, diantara kita masih ada kecendrungan berperilaku mewah, berpikir dangkal. Kita cenderung meniru gaya hidup (life style) negara maju, gaya hidup eksklusif. Sementara kita masih berpikir dangkal atau sempit. Apabila kita tidak menyadari ini sebagai suatu kesalahan dan tidak segera mengubahnya dengan berpikir global tetapi bertindak lokal (hidup sederhana, tidak konsumtif), dalam persaingan global kita justru akan menjadi “objek”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Panggilan Karya/Profesi

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan