Reba Deru dan Upaya Melestarikan Nilai Kepercayaan
Sejarah reba
Deru tak bisa dipisahkan dari nilai sebuah kepercayaan.Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi ketiga makna kepercayaan yang bertemali dengan reba Deru
adalah ; orang yang dipercaya atau diserahi sesuatu (2001:856).Sedangkan
menurut Lau dan Lee (1999) kepercayaan adalah
suatu kesediaan (willingness) seseorang bertujuan kepasrahan dirinya
terhadap pihak lain dengan resiko tertentu.Misalnya kepercayaan terhadap sebuah
merek,terjadi dari pengalaman masa lalu yang telah dilewatinya serta interaksi
sebelumnya (Garbarino dan Johnson,1999). Anderson dan Narus dalam Aydin dan
Ozer (2005) secara fokus menekankan bahwasannya trust dapat terjadi pada saat
suatu kelompok percaya bahwa tindakan kelompok lainnya akan memberikan hasil
terbaik bagi dirinya. Demikian juga proses pewarisan tradisi Reba Deru dari
Mori Wesi kepada teke Wesu.
Pemilik asli
reba deru atau yang dikenal dengan sebutan mori wesu adalah Gale Ga’e dan Ngao
Ngedo yang berasal dari Sa'o Sini Dewa nua Woe Bu’u. Saat ini kampung tersebut
berada di Gedhadhao. Sedangkan pewaris yang bertugas untuk menjaga dan
melestarikan Reba disebut Teke Wesu.
Kala itu Woe
Bu’u sedang terlibat dalam perang saudara.Tatkala berkosentrasi untuk
memenangkan peperangan ada banyak tradisi yang dimiliki akhirnya tidak bisa
dilaksanakan dengan baik. Sangat sulit bagi masyarakat suku Bu’u untuk
berkumpul menjalankan ajaran dan tradisinya.
Salah satu
aktivitas yang sering dihindari oleh Gale Ga’e dan Ngao Ngedo adalah berkumpul
di dalam rumah terutama rumah adat.Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
kepungan dari musuhnya.Dalam bahasa daerah dikenal dengan ungkapan muku bui
tolo zala (bakar pisang sepanjang jalan).Artinya memasak makanan sekalipun
seperti bakar pisang dll untuk menambah energi tidak bisa dilakukan di rumah
adat atau tempat yang nyaman, hanya bisa dilakukan sepanjang perjalanan jika
ada waku untuk rehat sejenak.
Oleh karena
tidak memiliki waktu untuk menjalankan tradisi reba, Gale Ga’e nee Ngao Ngedo
melakukan pertemuan dengan Paji nee Tado dari sa’o Gebhawea dan Patola . Kata
Gale Gae dan Ngao Ngedo “ Jou Paji nee
Tado, hae kami we tii Su”a bhoko nee bere kedhi, miu we pera riwu go adha zala
kita isi deru na”. Nama Deru pada masa dulu merujuk pada keseluruhan komunitas
masyarakat yang bermukim di nua Deru yakni sebuah Kampung di atas pegunungan
yang diapiti oleh tiga pegunungan yaitu di bagian Barat, Timur dan Timur
Tenggara. Bagian Barat di apiti oleh wolo Deru yang membentang sampai ke laut
Sawu. Bagian Timur diapiti oleh wolo Bhetomesina sedangkan di bagian Timur
Tenggara diapiti oleh wolo Fai. Di bagian utara kampung Deru terdapat sebuah
jurang yang sangat dalam. Sementara di bagian Selatan terbentang dataran rendah
yang di penghujungnya terdapat bentangan laut Sawu. Deru merupakan kampung yang
sangat strategis karena terletak di dataran tinggi, yang darinya orang bisa
melihat perkampungan-perkampungan lainnya di wilayah Jerebuu termasuk
pemandangan gunung Inerie. Secara umum tanah di Deru berbatu-batu namun sangat
cocok untuk menanami berbagai jenis tanaman baik yang berumur pendek maupun
berumur panjang .
Pertemuan
antara Gale Ga’e dan Ngao ngedo dengan Paji dan Tado adalah perjumpaan syarat
dengan makna karena selain memberi kepercayaan untuk menjalankan ritus Reba
deru juga menyerahkan Ngia Ngora atau lahan(kebun) di Pomawio dan Tana Li (
Bejo) sebagai pengikat dan penguat, kepada Paji nee Tado atau Teke Wesu yang
telah mendukung Pa’i bani ne pala waja.
Selain ngia
ngora, juga diserahkan su’a bhoko ne’e bere kedhi agar sao Patola dan Gebhawea
nge pera riwu .Simbol sua bhoko nee bere kedhi artinya sebagai penentu yang
berada di garis depan dalam hal rau uma (membuka lahan baru) dan tuza mula (menanam).Menjadi pera riwu
artinya melakukan terlebih dahulu atau pemberi teladan.Misalnya, menanam pisang
ketika membuka lahan baru kita harus menanam duluan demikian juga ketika
menanam padi (pare), tuza hae (tanam jagung), sepa uta (makan sayur) ,Orang
lain tidak boleh mendahuluinya.
Mengapa Gale
Ga’e dan ngao Ngedo memberi kepercayaan kepada Paji dan Tado untuk melestarikan
tradisinya (adha zala isi Deru) ?. Ketimbang menjelaskannya melalui defenisi
yang rumit, saya lebih suka mengutip konsep yang dikemukakan oleh Jack Welch, mantan
CEO General Electric. Katanya”Anda mengetahuinya saat anda merasakannya”.
Demikian juga ketika anda mendapatkan kepercayaan dari pimpinan, beliau
mempunyai keyakinan terhadap anda, terhadap integritas, dan kemampuan anda
(Stephen M.R Covey;2006)
Melalui
ritus sepa uta ana sa’o Gebhawea dan Patola menyampaikan pesan kepada khalayak
bahwa : robha leza ire dan musim tanam serta reba akan segera dimulai . Ire
merupakan suatu bentuk isyarat yang mengumandangkan bahwa kegiatan rutin
sebagai petani untuk sementara waktu dihentikan. Hal ini dilakukan sebagai
bentuk pemakluman bahwa pesta reba akan segera dimulai. Ire ini dilakukan
selama satu hari penuh setalah upacara sepa uta pada malamnya.
Keturunan
Paji dan Tado yang mendiami sa’o Gebhawea dan Patola sangat menyadari bahwa
kapasitas mereka sebagai pewaris sah tradisi atau teke wesu sangatlah berat.
Tugas mulia yang diemban untuk menggunakan, menjaga, dan melestarikan
seringkali mengalami tantangan berupa klaim pihak tertentu untuk mengaburkan
sejarah dan hakekat reba yang sesungguhnya. “Pada tahun 2015 ada pihak tertentu
yang mengklaim warisan berharga tersebut. Namun keturunan Gale Ga’e dan Ngao
Ngedo mengunjungi kami ana sa’o Gebhawea dan Patola untuk mempertegas dan
meyakinkan bahwa mereka tidak bisa membantah dan mengkhianati kepercayaan yang
telah diwariskan leluhurnya” kata Anselmus Dhewa salah satu mosalaki dari sao
Gebhawea.
Reba Deru
beserta ritus-ritus lain yang dilakukan selama ini adalah cara untuk menjaga
dan melestarikan kepercayaan dari Mori Wesu. Seiring perkembangan zaman sangat
diperlukan upaya kreatif untuk mempertahankan warisan yang sangat berharga ini
melalui kerjasama dengan berbagai pihak agar masyarakat menjadi literat tentang
Reba Deru
Mojokerto,
08 Januari 2020
John Lobo
Komentar
Posting Komentar