Resensi Kritis : Film The Last Supper, Sebuah Refleksi Ekaristis

"Ambillah, makanlah inilah tubuhKu. Minumlah, inilah darahKu" (Matius 26 : 26 - 28). Dalam sejarah sinema Kristen, banyak film yang mencoba menangkap keagungan dan misteri dari momen-momen penting dalam kehidupan Yesus Kristus. 

The Last Supper yang tayang tahun 2025 adalah karya dari Mauro Borelli, seorang Katolik yang taat, merupakan salah satu upaya terbaru untuk menghidupkan kembali momen sakral perjamuan terakhir. Namun film ini tidak sekadar menampilkan makan malam terakhir Yesus dengan para muridNya, melainkan berusaha menggali ketegangan emosional dan spiritual di balik peristiwa itu.

Visual yang memukau dan suasana mendalam menjadi kekuatan utama film ini. Kamera menangkap ekspresi para murid dengan intensitas yang kuat, mencerminkan ketegangan dan kesedihan di tengah kebersamaan yang penuh kasih. Yesus yang diperankan dengan penuh karisma oleh aktor tampak tenang, penuh otoritas, namun juga menyiratkan kesedihan yang mendalam. Namun pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah sejauh mana film ini mampu mengungkapkan makna terdalam dari perjamuan terakhir dalam iman Katolik? 

Apakah ia hanya menampilkan peristiwa historis, ataukah ia mampu menyampaikan realitas Sakramental Ekaristi, yang terus hidup dalam Misa Kudus. Dalam iman Katolik perjamuan terakhir bukan hanya kenangan akan suatu peristiwa masa lalu, melainkan peristiwa yang terus dihadirkan dalam setiap Misa Kudus. 

Ketika Yesus berkata "Inilah tubuhKu, Inilah darahKu..." itu bukan sekadar simbolis atau metaforis, tetapi suatu realitas Ilahi roti dan anggur sungguh diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Transubstansiasi yang menjadi inti ajaran Katolik tentang Ekaristi tampaknya tidak cukup ditekankan dalam film ini. Adegan "Konsekrasi" memang ditampilkan dengan penuh penghormatan, tetapi kurang memperlihatkan bahwa inilah momen ketika Yesus mempersembahkan diriNya sebagai Anak Domba Allah yang dikorbankan demi keselamatan manusia.

Salah satu aspek menarik dalam film ini adalah penggambaran hubungan antara Yesus dan Yudas. Yudas Iskariot, yang diperankan oleh aktor tidak hanya tampil sebagai pengkhianat klasik seperti yang sering digambarkan dalam film-film lain, tetapi sebagai seseorang yang tampak berjuang dengan pergulatan batin. Namun dari sudut pandang Ekaristi, pengkhianatan Yudas bukan sekedar persoa6 uang atau politik, tetapi soal iman. 

Ketika Yesus berkata dalam Yohanes 6 : 54 - 66 bahwa "Barangsiapa makan Daging-Ku dan minum Darah-Ku ia mempunyai hidup yang kekal," banyak murid yang meninggalkan Dia karena tidak bisa menerima ajaran ini.Dan disinilah letak tragedi Yudas, ia tetap berada diantara para rasul tetapi hatinya telah meninggalkan Yesus dan menolak Sakramen Ekaristi. 

Dalam perjamuan terakhir, ketika Yesus memberi Yudas potongan roti, Yohanes mencatat bahwa "Saat itu juga iblis masuk kedalam dia" (Yoh 13 : 27). Ini menunjukkan bahwa bagi mereka yang menerima Ekaristi dengan hati yang tidak percaya atau keadaan dosa berat, Ekaristi bukan menjadi sumber kehidupan, tetapi malah menjadi saksi penghakiman atas diri mereka sendiri (1 Kor 11 : 29). 

Film ini menampilkan pengkhianatan Yudas dengan dramatis, tetapi kehilangan dimensi Sakramental ini. Seandainya film lebih menekankan bahwa Yudas pada saat menerima roti, sebenarnya menerima penghakiman atas dirinya sendiri, karena hatinya telah tertutup bagi kasih Kristus, maka pesan Ekaristi dalam film ini akan jauh lebih kuat. 

Salah satu kekurangan film ini adalah kurangnya penekanan pada Yesus sebagai Imam Agung. Dalam teologi Katolik perjamuan terakhir bukan hanya sebuah perjamuan, tetapi juga penggenapan Paskah Yahudi dalam diri Yesus sebagai Imam, Altar, dan Korban yang sempurna, seperti yang dilukiskan dalam kitab Ibrani. Dalam tradisi Yahudi, saat perayaan Paskah, Anak Domba harus dikorbankan di bait Allah dan darahnya dipercikkan sebagai tanda perjanjian Allah dengan umatNya. Di sinilah letak keunikan perjamuan terakhir dimana Yesus adalah anak domba Paskah yang sejati. Ketika Ia mengambil roti dan anggur, Yesus tidak hanya memberikan makanan spiritual kepada murid-muridNya, tetapi Yesus mempersembahkan diriMya sendiri sebagai korban penghapus dosa. 

Sayangnya, film ini lebih berfokus pada hubungan antar murid dan ketegangan emosional mereka menjelang penangkapan Yesus, tanpa menyoroti dimensi Sakramental ini secara lebih mendalam. Padahal, jika aspek ini lebih digali film The Last Supper bisa menjadi salah satu representasi terbaik tentang bagaimana Ekaristi adalah puncak dan sumber kehidupan Kristen.

The Last Supper adalah film yang indah dan menggugah, tetapi bagi umat Katolik film ini sebaiknya ditonton dengan pemahaman teologis yang matang. Dari segi sinematografi dan akting film ini patut diapresiasi, namun dari sudut pandang teologi Ekaristi Katolik, ada beberapa kekurangan dalam penekanan pada Transubstansiasi, peran Yesus sebagai imam dan korban, serta implikasi Sakramental dari tindakanNya dalam perjamuan terakhir. Namun ini tidak berarti film ini tidak memiliki nilai bagi umat Katolik, justru film ini bisa menjadi kesempatan refleksi bagi kita semua ketika kita menghadiri Misa. Apakah kita sungguh sadar bahwa kita menghadiri perjamuan terakhir yang sama dengan yang dialami para rasul ? 

Ketika menyambut Ekaristi apakah kita menyambut Yesus dengan hati yang penuh Iman atau dengan keraguan seperti Yudas? Apakah kita melihat Ekaristi hanya sebagai simbol ataukah kita sungguh percaya bahwa kita menerima Tubuh dan Darah Kristus yang sejati ?

Jika film ini dapat mendorong umat untuk menggali lebih dalam misteri Ekaristi dan semakin mencintai Misa Kudus, maka meskipun ada beberapa kelemahan teologis, film ini tetap memiliki nilai bagi pertumbuhan iman. Seperti kata Santo Thomas Aquinas: "Ekaristi adalah jalan menuju Surga, karena didalamnya kita menerima Kristus sendiri,". Maka setelah menonton film ini, jangan berhenti disana, pergilah ke Gereja, hadirilah Misa dan rasakan kehadiran nyata Yesus dalam Sakramen Maha Kudus. Karena disanalah kita sungguh mengalami perjamuan terakhir yang abadi. 

Selamat menonton bersama keluarga dan orang terkasih yang dekat dihati anda. Tuhan memberkati. Salve. 

Transkriptor : John Lobo
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan

Panggilan Hidup Membiara

Menakar Peluang PSN Ngada di Liga 4 ETMC NTT