Menanggapi Hasrat Berdebat di Kalangan Protestan
1. Warisan Reformasi
Reformasi Protestan abad ke-16 lahir dari kritik terhadap Gereja Katolik, terutama dalam hal otoritas, ajaran, dan praktik keagamaan. Semangat apologetis (pembelaan iman) terhadap Katolik masih diwarisi oleh banyak kelompok Protestan, terutama yang berbasis pada sola scriptura dan sola fide.
2. Fokus pada Perdebatan Doktrinal
Beberapa kelompok Protestan melihat Katolik sebagai ajaran yang menyimpang dari "kemurnian Alkitab." Misalnya, mereka menolak ajaran tentang Maria, tradisi suci, dan otoritas Paus, sehingga merasa perlu untuk "mengoreksi" umat Katolik melalui debat.
3. Semangat Evangelisasi
Beberapa denominasi Protestan memiliki misi evangelisasi yang kuat. Dalam pandangan mereka, Katolik adalah "sesat" atau "belum menerima keselamatan sejati," sehingga mereka merasa perlu berdebat untuk "membawa kembali" umat Katolik kepada iman yang mereka anggap benar.
4. Budaya Perdebatan dalam Kekristenan Injili
Di kalangan Protestan Injili, debat sering dianggap sebagai sarana penginjilan yang efektif. Mereka terbiasa dengan format debat di mimbar, media sosial, atau dalam literatur apologetika.
5. Pengaruh Media Sosial
Dalam era digital, perdebatan menjadi alat yang menarik perhatian. Banyak Protestan yang aktif di media sosial melihat debat dengan Katolik sebagai kesempatan untuk menunjukkan superioritas ajaran mereka kepada audiens yang lebih luas.
6. Salah Paham terhadap Ajaran Katolik
Banyak Protestan mendasarkan kritik mereka terhadap ajaran Katolik dari sumber-sumber yang tidak akurat. Akibatnya, mereka ingin "menantang" Katolik berdasarkan informasi yang kurang tepat.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua Protestan memiliki hasrat debat yang sama. Ada juga yang lebih mengedepankan dialog persaudaraan dan ingin memahami Katolik secara lebih mendalam.
Dari perspektif Thomistik, bagaimana seharusnya umat Katolik merespons tantangan debat dari Protestan?
Dari perspektif Thomistik, respons umat Katolik terhadap tantangan debat dari Protestan haruslah didasarkan pada kebijaksanaan (prudentia), kebenaran (veritas), dan kasih (caritas), karena tujuan utama diskusi teologis bukanlah kemenangan, tetapi pencarian dan pembelaan kebenaran dengan cara yang mengarah pada persatuan dalam Kristus.
1. Menilai Motivasi dan Tujuan Debat
Dalam Summa Theologiae (II-II, q. 47-48), Santo Thomas Aquinas menekankan kebijaksanaan dalam berbicara dan bertindak. Sebelum menerima tantangan debat, umat Katolik harus menilai:
Apakah debat ini membawa manfaat bagi iman dan kebenaran?
Apakah debat ini dilakukan dalam semangat pencarian kebenaran, atau sekadar untuk adu argumentasi?
Apakah lawan debat terbuka terhadap argumen rasional, atau hanya ingin mencari celah untuk menyerang?
Jika debat hanya akan memicu kebingungan atau kebencian tanpa hasil positif, lebih baik diarahkan ke bentuk dialog konstruktif daripada perdebatan sengit.
2. Menggunakan Akal dan Wahyu dengan Harmoni
Aquinas selalu mengajarkan bahwa iman dan akal tidak bertentangan (fides et ratio). Dalam menghadapi argumen Protestan, umat Katolik harus:
Menjelaskan ajaran Gereja secara rasional, sesuai dengan De Veritate dan prinsip analogia entis.
Menunjukkan bahwa ajaran Katolik tidak bertentangan dengan Kitab Suci, tetapi melengkapinya dengan Tradisi Apostolik.
Menegaskan bahwa interpretasi Kitab Suci tidak boleh terlepas dari otoritas Gereja yang didirikan Kristus (Mt 16:18-19).
3. Mengutamakan Sikap Kasih dan Kerendahan Hati
Dalam Summa Theologiae (II-II, q. 23-27), Aquinas menempatkan caritas sebagai kebajikan tertinggi. Sehingga:
Umat Katolik harus tetap bersikap hormat terhadap Protestan, bahkan ketika mereka menyerang ajaran Gereja.
Menghindari debat yang berujung pada kebencian atau arogansi intelektual.
Menggunakan bahasa yang membangun persaudaraan, bukan yang memperburuk perpecahan.
4. Mempersiapkan Diri dengan Baik
Aquinas menekankan pentingnya scientia (pengetahuan) dalam membela iman. Maka:
Umat Katolik harus memahami dasar ajaran Gereja dengan baik (Katekismus, Tradisi, dan Kitab Suci).
Harus mengenal argumen Protestan secara mendalam agar dapat menjawabnya dengan bijak.
Mengikuti jejak para apologet besar seperti Santo Robertus Bellarminus, G.K. Chesterton, atau Kardinal Newman yang menjawab tantangan dengan argumentasi kuat dan penuh kasih.
5. Mengarahkan Perdebatan ke Tujuan yang Lebih Tinggi
Tujuan akhir bukanlah membuktikan siapa yang lebih pintar, tetapi membawa orang lebih dekat kepada Kristus dan Gereja-Nya. Oleh karena itu, setiap debat harus:
Mengarahkan lawan debat kepada pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran Kristiani.
Membantu mereka melihat bahwa Gereja Katolik adalah pemegang warisan otentik iman para Rasul.
Menunjukkan keindahan ajaran Katolik yang tidak hanya rasional, tetapi juga mengarah pada kehidupan spiritual yang lebih dalam.
Kesimpulan
Dalam menghadapi tantangan debat dari Protestan, umat Katolik harus mengikuti kebijaksanaan Thomistik:
✔ Menilai apakah debat membawa manfaat atau hanya menimbulkan perpecahan.
✔ Menggunakan argumentasi yang logis dan berdasarkan wahyu.
✔ Mengutamakan kasih dan kerendahan hati.
✔ Mempersiapkan diri dengan baik dalam ajaran Gereja.
✔ Mengarahkan diskusi pada kebenaran yang membawa kepada Kristus.
Apakah pendekatan ini cocok untuk konteks dialog Katolik-Protestan di Indonesia?
Pendekatan Thomistik ini sangat cocok untuk konteks dialog Katolik-Protestan di Indonesia, tetapi dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan situasi sosial dan budaya di sini. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapannya:
1. Karakter Dialog Agama di Indonesia
Indonesia memiliki budaya gotong royong dan harmoni sosial, sehingga debat terbuka yang terlalu agresif bisa lebih banyak menimbulkan konflik daripada pemahaman.
Banyak masyarakat Protestan di Indonesia berasal dari latar belakang Kristen tradisional dan Injili. Mereka tidak selalu memiliki pendekatan akademis dalam debat, tetapi sering berpegang pada pengalaman pribadi dan interpretasi langsung dari Kitab Suci (sola scriptura).
Ada juga pengaruh ekumenisme moderat, terutama di wilayah-wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, yang mendorong kerja sama antarumat Kristen.
2. Mengutamakan Dialog, Bukan Sekadar Debat
Santo Thomas Aquinas sendiri dalam Summa Theologiae II-II, q. 10, art. 7 menekankan bahwa cara terbaik dalam menghadapi perbedaan iman adalah dengan pembelajaran dan persuasif, bukan paksaan atau polemik keras.
Di Indonesia, pendekatan yang lebih bersifat dialogis akan lebih efektif dibanding debat keras.
Diskusi bisa difokuskan pada kesamaan dasar dalam iman Kristen, seperti iman kepada Kristus, Trinitas, dan pentingnya hidup suci, sebelum masuk ke perbedaan doktrinal secara lebih mendalam.
Model diskusi yang lebih bersifat kekeluargaan dan dialog reflektif akan lebih diterima daripada debat publik yang bersifat menang-kalah.
3. Menjawab Tantangan Sola Scriptura dengan Pendekatan Kontekstual
Banyak Protestan di Indonesia berpikir bahwa Katolik "menambah-nambah" ajaran di luar Alkitab. Oleh karena itu, kita bisa menunjukkan bagaimana Tradisi dan Kitab Suci berjalan bersama sejak zaman para Rasul.
Gunakan referensi Alkitab yang akurat dalam menjelaskan doktrin Katolik, karena pendekatan rasional saja sering tidak cukup bagi mereka yang lebih menekankan otoritas Kitab Suci.
Menggunakan sejarah Gereja di Nusantara bisa membantu. Misalnya, bagaimana Katolik sudah hadir di Indonesia sejak abad ke-16, sebelum banyak denominasi Protestan lahir.
4. Menjaga Sikap Kasih dan Kesaksian Hidup
Banyak Protestan di Indonesia memiliki kesan bahwa Katolik hanya soal ritual tanpa iman yang hidup. Maka, sikap hidup yang mencerminkan kasih Kristus akan lebih kuat daripada argumen akademis.
Santo Thomas menekankan dalam De Veritate q. 14, a. 3 bahwa kesaksian kebenaran tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga tindakan yang mencerminkan kebaikan ilahi.
Oleh karena itu, penting bagi umat Katolik untuk menunjukkan bahwa iman Katolik membawa transformasi nyata dalam kehidupan pribadi dan sosial.
5. Mempersiapkan Umat Katolik dengan Apologetika yang Kontekstual
Banyak umat Katolik di Indonesia belum siap berdialog dengan Protestan karena kurang memahami ajaran Gereja sendiri.
Perlu ada pendidikan apologetika yang lebih membumi, bukan hanya berbasis filsafat skolastik tetapi juga dengan pendekatan pastoral dan biblis.
Kita bisa merujuk pada pengalaman apologet Katolik seperti Scott Hahn atau G.K. Chesterton, yang mampu menjelaskan iman Katolik dengan cara yang logis dan menarik bagi Protestan.
Kesimpulan: Menerapkan Pendekatan Thomistik dengan Kearifan Kontekstual
Pendekatan Thomistik tetap relevan untuk dialog Katolik-Protestan di Indonesia, tetapi perlu diterapkan dengan pendekatan pastoral dan budaya yang tepat:
✔ Mengutamakan dialog daripada debat terbuka yang bisa memicu perpecahan.
✔ Menggunakan Kitab Suci dan sejarah Gereja sebagai dasar argumentasi yang kuat.
✔ Menunjukkan iman Katolik melalui kesaksian hidup dan kasih persaudaraan.
✔ Memperlengkapi umat Katolik dengan apologetika yang relevan dengan konteks Indonesia.
RP. Patris Alegro
Komentar
Posting Komentar