Kisah Marthin Luther Merevisi Kanon Sesuka Hati
Perubahan ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui serangkaian keputusan yang didasarkan pada keyakinannya mengenai doktrin keselamatan. Luther percaya bahwa keselamatan diperoleh hanya melalui Iman atau Sola Fide, sebuah gagasan yang membawanya untuk menilai ulang Kanon Alkitab yang telah dipegang gereja selama lebih dari 1000 tahun.
Dalam prosesnya, ia menemukan bahwa beberapa kitab dalam Perjanjian Lama tampaknya tidak mendukung keyakinan ini. Ia mendapati bahwa kitab-kitab seperti Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh, dan dua Kitab Makabe mengandung ajaran yang menekankan peran perbuatan dalam keselamatan serta doktrin seperti doa untuk orang mati yang bertentangan dengan teologinya.
Atas dasar itu, Luther memutuskan untuk mengeluarkan kitab-kitab tersebut dari alkitabnya. Luther kemudian berpegang pada gagasan bahwa hanya kitab-kitab yang diakui oleh orang Yahudi yang seharusnya menjadi bagian dari Perjanjian Lama. Imenolak Kitab-Kitab Deuteroanonika karena tidak terdapat dalam "Tanakh" teks Ibrani yang digunakan oleh komunitas Yahudi pasca Bait Suci.
Namun pemahaman ini mengabaikan fakta sejarah bahwa pada masa Yesus dan para rasul tidak ada kanon Ibrani yang resmi. Orang Yahudi di berbagai wilayah memiliki kumpulan kitab yang berbeda-beda dan komunitas Yahudi di Alexandria lebih banyak menggunakan Septuaginta yang mencakup Kitab-Kitab Deuteroanonika.
Keputusan Luther untuk mendasarkan perjanjian lamanya pada kanon Yahudi bermasalah dari sudut pandang historis. Penelitian modern menunjukkan bahwa kanon Yahudi baru benar-benar dikonsolidasikan setelah kehancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi dan baru difinalisasi dalam Konsili Yapne sekitar tahun 90 masehi. Artinya, jika Luther menggunakan standar ini ia sebenarnya mengikuti keputusan komunitas Yahudi pasca Kristus, bukan tradisi yang diwariskan oleh Gereja perdana.
Lebih jauh Septuaginta yang lebih tua daripada teks Masoritik Yahudi adalah teks yang paling sering dikutip dalam Perjanjian Baru, bahkan dalam Surat kepada Umat di Ibrani terdapat rujukan eksplisit pada 2 Makabe 7 mengenai kisah martir yang berani menghadapi kematian dengan harapan kebangkitan.
Ini menunjukkan bahwa para penulis Perjanjian Baru tidak menolak kitab-kitab Deuteroanonika, tetapi justru menggunakannya sebagai bagian dari pewahyuan Ilahi. Namun Luther tidak berhenti hanya pada revisi Perjanjian Lama, ketika ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1522 ia mulai mempertanyakan otoritas beberapa kitab dalam Perjanjian Baru.
Bagi Luther, kitab-kitab seperti Surat Yakobus, Ibrani, Wahyu, dan Yudas tampak kurang sesuai dengan teologinya. Surat Yakobus misalnya menegaskan bahwa Iman tanpa perbuatan adalah mati sebuah pernyataan yang sangat bertentangan dengan konsep Sola Fide yang ia perjuangkan. Akibatnya dalam edisi alkitabnya, Luther memisahkan kitab-kitab ini dari yang lain, menempatkannya di bagian belakang dan memberi mereka status yang lebih rendah dalam otoritas.
Keputusan ini menunjukkan betapa subjektifnya standar yang digunakan Luther dalam menentukan kanon. Alih - alih berpegang pada Tradisi Apostolik atau kesaksian gereja perdana, ia justru menilai kitab-kitab Suci Berdasarkan apakah mereka mendukung atau bertentangan dengan doktrin pribadinya. Tetapi dalam kajian modern terhadap sejarah kanonisasi, ditemukan bahwa kitab-kitab yang diragukan Luther sebenarnya telah diterima secara luas oleh Gereja sejak awal.
Misalnya Surat Yakobus yang banyak dikutip oleh banyak Bapa Gereja seperti Origenes dan Hieronimus yang menegaskan tempatnya dalam Kitab Suci. Kitab Ibrani telah digunakan dalam Liturgi sejak abad kedua, sementara Wahyu telah diterima oleh Gereja sejak masa Santo Ireneus yang menyebutnya sebagai pewahyuan Ilahi kepada rasul Yohanes.
Seiring berkembangnya penelitian teks Alkitab, semakin jelas bahwa standar yang digunakan Luther tidak memiliki dasar historis yang kuat. Jika ia mengandalkan kanon Yahudi untuk menentukan Perjanjian Lama, maka Ia mengabaikan kenyataan bahwa kanon ini baru ditetapkan setelah zaman Yesus. Jika ia menolak Kitab - Kitab Perjanjian Baru berdasarkan ketidaksesuaiannya dengan doktrin pribadinya, maka ia sedang menempatkan otoritas teologi pribadinya di atas kesaksian gereja yang telah bertahan selama berabad-abad.
Akhir kata, reformasi Protestan berawal dari klaim kembali ke Kitab Suci tetapi Ironi terbesarnya adalah bahwa Sola Skriptura justru didasarkan pada Kitab Suci yang telah direvisi secara subjektif oleh Martin Luther. Dengan mencoret kitab-kitab yang telah diterima selama lebih dari 1000 tahun dan menurunkan otoritas beberapa kitab Perjanjian Baru, Luther mengguncang fondasi otoritatif iman Kristen.
Dari sinilah kekacauan doktrinal Protestan bermula. Jika Sola Skriptura menjadi dasar iman mereka, tetapi Skriptura atau Alkitab yang mereka gunakan bukanlah kitab suci yang dipegang gereja sepanjang sejarah. Maka seluruh bangunan teologi mereka berdiri di atas fondasi yang goyah. Hasilnya fragmentasi yang tak terelakan, ditambah lagi tanpa otoritas magisterium, setiap individu menafsirkan Alkitab sesuka hati yang akhirnya melahirkan 60.000 lebih sekte dengan doktrin yang bertentangan satu sama lain.
Reformasi yang diawali dengan revisi kanon bukanlah pemurnian Iman, melainkan awal dari kekacauan teologis yang berkepanjangan. Inikah kesatuan gereja yang diinginkan oleh Yesus Kristus ? Renungkanlah!
Salve
Transkriptor : John Lobo
Komentar
Posting Komentar