Gereja Katolik dan Semangat Melayani (Diakonia)

Gereja Katolik saat ini mengoperasikan: 140.000 sekolah, 10.000 Panti asuhan, 5.000 Rumah Sakit, dan 16.000 layanan Kesehatan lainnya.

Hal ini menjadikan Gereja Katolik sebagai organisasi non-negara terbesar dan paling signifikan di dunia (IG : @teraskatolik.official) 

Kata “diakonia” berasal dari bahasa Yunani yaitu “diakonein” artinya pelayan meja, Diakonia dianggap sebagai pelayanan yang dilakukan oleh seorang hamba yang melayani meja makan, dan pekerjaan ini dianggap rendah.

Gereja (Umat Allah) dipanggil untuk melayani manusia, seluruh umat manusia. “Melayani” adalah kata penting dalam ajaran Yesus. Pada Malam Perjamuan Terakhir, Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa para pengikut Yesus harus merendahkan diri dan rela menjadi pelayan bagi sesamanya. Jika orang ingin menjadi terkemuka, ia harus rela menjadi pelayan. Yesus sendiri menegaskan: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mrk 10: 45)

Barangsiapa menyatakan diri murid Kristus, “ia wajib hidup seperti Kristus” (1Yoh 2: 6). Kristus yang “mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2: 7) tidak ada artinya jika murid-murid-Nya mengambil rupa seorang penguasa. Melayani berarti mengikuti jejak Kristus.

Implementasi bentuk pelayanan dari Gereja sebagai Umat Allah mengarah pada pelayanan ke dalam (intern) seperti ; kelompok kunjungan orang sakit, kelompok kerja bakti komplek Gereja, kepengurusan Gereja baik lingkungan, wilayah, DPP, dll. Sedangkan formulasi pelayanan keluar (eksternal) atau masyarakat luas sudah ada sejak semenjak adanya kesadaran akan eksistensinya dalam masyarakat dunia yang terwujud dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Gereja justru menunjukkan wajahnya dalam sekian banyak bentuk dan Gereja Katolik justru dihargai karena berbagai bentuk pelayanan sosial ( Frans Magnis Suseno : 2017).

Secara kasat mata bentuk pelayanan kepada masyarakat (eksternal) tampak dalam berbagai bidang antara lain; kesehatan, pendidikan, budaya, ekonomi, sosial masyarakat, hukum, dan politik.

Orientasi pelayanan Gereja fokusnya adalah kaum kecil yaitu prbadi manusia yang tidak diperhitungkan keberadaannya karena dianggap tidak memiliki kapasitas untuk berperan dalam kehdiupan masyarakat umum. Kedua, kaum lemah yaitu mereka yang tak mampu membela diri dan mempertahankan haknya. Ketiga, kaum miskin yaitu orang hidupnya terbatas dalam hal kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) serta tidak mempunyai keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Keempat, Kaum yang tersingkir yakni orang yang mengalami pengucilan,dijauhkan oleh masyarakat dan kehidupan sosial serta kelima, kaum difabel yaitu mereka yang berkebutuhan khusus karena memiliki kemampuan yang berbeda dari masyarakat umum (cacat).

Tanda khas yang membedakan antara pelayanan Gereja dengan bentuk pelayan yang lain adalah :

1. Bersikap sebagai pelayan. Yesus menyuruh para murid-Nya selalu bersikap sebagai “yang paling rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua” (Mrk 9: 35). Yesus sendiri memberi teladan dan menerangkan bahwa demikianlah kehendak Bapa. Menjadi pelayanan adalah sikap iman yang radikal.

2. Kesetiaan kepada Kristus sebagai Tuhan dan Guru. Ciri religius pelayanan Gereja ialah menimba kekuatannya dari sari teladan Yesus Kristus

3. Orientasi pelayanan Gereja terutama ditunjukkan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel : Mereka bukanlah obyek belas kasihan

4. Kerendahan hati. Dalam pelayanan, Gereja (kita) harus tetap bersikap rendah hati. Gereja tidak boleh berbangga diri, tetapi tetap melihat dirinya sebagai “hamba yang tak berguna” (Luk 17: 10)

Mojokerto, 21 Pebruari 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menakar Peluang PSN Ngada di Liga 4 ETMC NTT

PSN Ngada, Selangkah Lagi Menuju Jalan Terjal

Panggilan Hidup Membiara