Memaknai Puasa Sebagai Padang Gurun Kehidupan
Saat ini umat Katolik sedunia memasuki masa puasa pada hari yang kedelapanbelas. Periode selama puasa sering dimaknai sebagai situasi “Padang Gurun” kehidupan. Suatu situasi yang menuntut kita untuk selalu waspada dan harus mengambil keputusan yang tepat, karena iklim dan kondisinya yang tidak bersahabat. Namun, dibalik keganasan dan banyaknya cobaan ada rahmat yang tersembunyi (Blessing in disguise).
Puasa senantiasa menarik manusia untuk sejenak berjalan di “Padang Gurun” kehidupan yaitu nuansa yang membuat orang berada dalam lingkup cobaan dan tantangan. Manusia harus bersikap serius terhadap hidupnya dimana kita dihadapkan pada kelemahan sebagai ciptaan yang tak berdaya sekaligus dihadapkan pada suatu kekuatan. Maka, seringkali Padang Gurun dikatakan sebagai tempat yang berbahaya, sebab manusia dipaksa untuk memikirkan apa yang paling mendasar sehingga setiap keputusan yang diambil harus memiliki nilai yang berkualitas.
Puasa
merupakan proses transformasi diri untuk menanggalkan berbagai hal yang membelenggu manusia. Rentang waktu 40 hari yang dikhususkan
dan dipandang sebagai situasi yang Religius seharusnya dijadikan moment
sekaligus titik refleksi bertemunya iman dan rasio. Puasa dijadikan titik
refleksi untuk membangun kesadaran manusia dalam proses pemahaman akan
eksistensi diri dan kesempatan untuk memperoleh kesejatian hidup serta
mengimplementasikan jawaban atas perwujudan dirinya sebagai ciptaan Tuhan.
Dalam proses pelepasan belenggu diri, manusia senantiasa dihadapkan pada
sejumlah cobaan. Entah sebagai ujian yang menantang seseorang supaya dapat
bertahan dan lulus ataupun sebagai godaan yang menantang manusia untuk memilih,
menyetujui ataupun menolak, cobaan dapat diartikan sebagai “padang gurun”
kehidupan dan suatu hal yang khas dalam hidup manusia. Melalui cobaan manusia
seperti “diundang” untuk memilih hidup yang bermutu dan mendalam atau memilih
hal yang tidak bernilai bagi hidupnya. “
Selain kesempatan untuk membangun kesalehan diri, puasa juga merupakan kesempatan untuk membangun kesalehan sosial. Dalam konteks ini puasa dihayati sebagai upaya membangun harmonisasi relasi dengan saudara-saudara yang berbeda dengan kita. Entah agama yang berbeda, etnis, suku, status sosial, jenis kelamin (gender) maupun status ekonomi. Keharmonisan itu ditandai dengan adanya spirit yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme melalui perilaku nyata yang terinspirasi dari sikap dan perilaku lintas batas sang guru, Yesus Kristus dari Nazareth yaitu tidak mengesampingkan siapapun (bdk Markus 2 : 15), kisah tentang orang Samaria yang baik hati adalah contoh perilaku nyata menembus batas dalam persoalan ras, menyambut anak-anak kecil dengan suka hati adalah kepedulian yang melintasi batas-batas usia, gender sensitivity Yesus juga sangat menonjol ketika Ia berkali-kali mengakui wanita sebagai pribadi dan mitra sejajar dalam karya perutusan. Mungkin yang cukup mengharukan adalah sikap-Nya yang sangat kontroversi dalam memperlakukan dan menerima para pendosa. Yesus membuang jauh-jauh sekat-sekat status dengan cara menerima orang buangan secara politis (para pemungut cukai), orang yang terpinggirkan secara sosial (penderita kusta) dan mereka yang hancur terabaikan oleh agama (para pelacur). Bagi Yesus rasanya tidak cukup sebuah hati yang cuma tergerak oleh belas kasih. Lebih dari sekedar tersentuh di dalam hati, Yesus menghayati ketergerakan itu dalam keteladanan. Yesus telah dengan rela hati hidup berdampingan dengan siapapun untuk menghalau tabu-tabu sosial, budaya, politik dan bahkan tabu keagamaan.
Jika inspirasi kita mengasihi adalah Yesus (bdk Yoh 5 : 12) maka syarat-syarat mewujudkan kasih mau tak mau harus sejalan dengan tuntutan Yesus juga, “setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 6 : 24). Menyangkal diri artinya tidak menuruti semua keinginan dan rasa hati kita, terlebih jika itu bertentangan dengan ajaran Tuhan. Keinginan diri kita sendirilah yang memunculkan godaan dalam diri, bukan dicobai Tuhan. Dalam kenyataan kita ditantang lebih memilih yang mengenakkan dan menyenangkan atau memilih apa yang dikehendaki Tuhan (tak jarang justru tidak menyenangkan). Bila kita berani memilih kehendak Tuhan dengan konsekuensi kita jadi susah payah dan tidak mengalami hal yang enak dan menyenangkan. Kedua, sering kita mengidentikkan salib adalah penderitaan. Padahal, tidak semua penderitaan adalah salib. Penderitaan yang disebabkan karena kesalahan sendiri bukanlah salib. Salib adalah konsekuensi karena kita mau konsisten menjalankan ajaran Tuhan. Terkadang kita bisa menderita, tetapi selamanya tidak demikian. Jelasnya kita mampu menanggung semua derita itu dengan gembira dan setia. Seorang siswa harus belajar keras untuk menguasai pengetahuan dan mendapat “nilai asli”, seorang pegawai dikucilkan karena berlaku jujur, orang tua harus menderita banyak karena mau membimbing anaknya kembali ke jalan yang benar, dan sebagainya. Tuhan Yesus hanya bangkit dari kematian melalui jalan salib. Demikian juga jika kita ingin menemukan kebahagiaan sejati, kesejahteraan dan kelimpahan manakala kita setia memanggul salib. Tanpa melalui jalan salib semuanya adalah semu. Ketiga, mengikuti Yesus dengan memperlihatkan iman melalui perilaku nyata yang penuh dengan kesabaran, murah hati, tidak sombong, tidak egois, tidak berkesudahan, dan seterusnya (I Kor 13 : 4 – 7).
Mewujudkan kasih dalam masa puasa tentu merupakan hal yang sangat menantang. Bukan tidak mungkin kita mengambil sikap “sudah kalah sebelum bertanding”, melihat sedemikian dahsyatnya tuntutan itu dibanding dengan beraneka bentuk kenikmatan duniawi yang pada saat yang sama juga ada di depan mata. Namun harus diingat bahwa dinamika bertumbuh dan berjalan bersama Tuhan dalam berbagai kisah, Kitab Suci telah mengajarkan kita pada sebuah kebajikan Alkitabiah. Tuhan tidak pernah menuntut seseorang berbuat lebih dari kemampuannya dan juga Tuhan sesungguhnya percaya pada kemampuan kita.
Maka tidak selayaknya jika kepercayaan seluhur itu disia-siakan. Tantangan sebesar apapun dalam hidup seorang pengikut Kristus sewajarnya dipandang sebagai sarana untuk lebih mempertajam pemahaman akan kerendahan hati dihadapan Tuhan. Semangat inilah yang begitu menyentuh dan memanggil orang untuk bertobat, sehingga dengan rela hati bisa berkorban dan mampu bertahan dalam pengorbanan itu. Bahkan pengorbanan untuk lebih memfokuskan keutamaan kasih kepada sesama, kecil dan yang tertindas. Marilah kita saling menguatkan karena saat ini kita sedang bergumul dengan sejumlah ujian, tantangan dan godaan sebagai “Padang Gurun” kehidupan dalam pengembaraan menuju sang Khalik asal dan tujuan kehidupan.
John Lobo
Komentar
Posting Komentar