STAY AT HOME, WORK FROM HOME (Sebuah Refleksi Sosio - kultural )


Stay at home,work from home,  menjadi istilah  yang sangat ngetrend saat ini. Ajakan untuk berada di rumah dan mengerjakan segala sesuatu di rumah, merupakan langkah efektif agar ‘terhindar’ dari serangan virus corona 19. Bagi teman teman yang bekerja di kantor,  ajakan ini bisa diterapkan secara efektif. Bagi para petani, peternak, dan masyarakat yang tinggal di desa-desa ajakan ini harus dimaknai secara lebih komprehensif. Intinya jelas, agar tidak bertemu dengan siapa pun yang membuka peluang terserang virus corona, masyarakat diajak untuk bekerja dari rumah. Ini akan sangat efektif bagi orang yang mendasarkan kehidupannya pada ‘pekerjaan di kantor’. Tetapi bagi para petani, masyarakat yang tinggal di desa-desa, ajakan ini perlu dimakna dari perspektif yang lebih luas.  Bagi para petani dan peternak, harus disisipkan dengan  ajakan untuk terus bekerja di kebun, bekerja di kandang.

Bapak Ansel Dhewa kepala SMAK Thomas Aqunas Mataloko pernah menginformasikan bahwa  dirinya dan para guru swasta di kecamatan Golewa saat ini, mulai mengandalkan hasil kebun sebagai sumber makanannya. Bahkan di setiap sudut kebun, sudah dilangkahi, sudah diperiksa, sudah dilihat mungkin ada ubi, sayur yang bisa dipanen dari sana. Saya juga dapat informasi dari Bapak Fridus Muga – pemilik sebuah yayasan Pendidikan di Ngada. Para guru, dosen yang berada di bawah yayasannya, diajak untuk memanfaatkan kebun sebagai sumber makanan hariannya. Beberapa teman Facebook atau media sosial lainnya  mempublikasikan aktivitas hariannya dengan mengajak seluruh anggota keluarga  untuk berkebun. Anak anak nampak ceria dan menikmati aktivitas di kebun setelah selama ini kebunnya sering  tidak dikunjungi   dengan alasan orangtuanya bekerja  di kantor.

Virus corona yang sangat ditakuti saat ini, sebenarnya sedang mengajarkan nilai hidup  yang sangat kaya.  Saya jadi teringat ajakan kultural masyarakat Ngada Flores NTT berkaitan dengan budaya berkebun. Karena letak kampung dan kebun itu harus ditempuh dengan berjalan kaki maka ada ajakan seperti ini : dua romu robha …. Nuka dere maru. Dua romu robha (pergi ke kebun di pagi buta ketika embun masih melekat di dedaunan). Pulang pun demikian. Nuka dere maru (pulang dari kebun ke kampung, tunggu waktu menjelang petang sampai kita tidak bisa mengenal seseorang ketika berpapasan).  Saya menilai ajakan ini sebagai ‘sabda kultural’ yang harus berbuah aksi. Aksi pergi kebun di pagi buta disertai dengan ajakan  lain ketika pertama tama berada di kebun yakni lasa uma (memeriksa kebun secara keseluruhan) .Kata lasa = secara bebas diterjemahkan sebagai kegiatan memeriksa apa yang ada di kebun. Tetapi secara harafiah, lasa terdiri dari kata (la= melangkah) dan sa =(menyapa). Ketika kita berada di kebun dan melakukan aksi berjalan langkah demi langkah sambil memeriksa jenis tanaman apa yang perlu dirawat atau masih adakah tanah kosong  yang bisa ditanami lagi. Berada di kebun atau bekerja di kebun  harus terus disampaikan kepada  masyarakat pedesaan saat ini. Karena aneka kemajuan yang dialami saat ini, masyarakat desa secara tidak sadar  ‘terjebak ‘  dalam kemudahan untuk mendapatkan makanan dari pasar.  Kebun hanya sebagai tempat menanam tanaman umur panjang yang panennya tunggu setahun sekali atau 6 tahun sekali bahkan  20 tahun sekali. Virus corona terasa sedang  ‘memaksa’ masyarakat desa untuk kembali menjadikan kebun sebagai ‘penghasil makanan harian’  bagi keluarga.  Dulu ada pondok (keka)  atau gubuk (sani)  yang sengaja dibangun di kebun agar masyarakat tetap berada di kebun, tinggal di kebun  dan menjadikan kebun sebagai sumber penghasil makanan hariannya. Rupanya virus corona sedang mengingatkan masyarakat desa, masyarakat petani dan kita semua  untuk menjadikan kebun sebagai sumber penghasil makanan harian kita .

Amat disayangkan, ada segelintir orang berteriak meminta agar pemerintah memberi mereka beras dan aneka kebutuhan harian lainnya sementara mereka tinggal di desa. Ajakan untuk berkegiatan dan tinggal  di kebun  (do = menyentuh dan ngo = bekerja) perlu dimaknai sebagai  tindakan konkrit untuk mengatur hidup kita  agar lebih sehat,  dan  terhindar dari  virus corona.  Saya jadi ingat akan pesan almarhum Mgr.John Philip Saklil Ketua Komisi PSE KWI :  petani harus mampu mendapatkan ‘makan’ dari kebunnya sendiri.

Eddy Loke, 14 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Panggilan Karya/Profesi

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan