PEREMPUAN : ANTARA TRADISI DAN KEBIJAKAN

Memaknai keberadaan perempuan di NTT sebenarnya dapat kita potret dari kualitas hidup terutama aspek kesehatan. Kualitas kesehatan perempuan terutama ibu melahirkan, resiko mengalami kematian tergolong cukup tinggi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, apalagi kalau dibandingkan dengan propinsi tetangga NTB yang berhasil menekan angka kelahiran sampai 3,6 per wanita usia subur. Persoalan ini merupakan fenomena gunung es tentang buruknya sistem pelayanan kesehatan pemerintah terhadap masyarakat khususnya perempuan di NTT.

Marginalisasi hak-hak perempuan terutama hak untuk hidup sehat boleh jadi dilatar belakangi oleh budaya Patriarkhi yang masih dilestarikan hingga sekarang. Budaya ini akhirnya melahirkan perilaku atau sikap untuk tidak memperhitungkan dan mengabaikan kaum perempuan. Sikap tersebut terpola secara sistematis mulai dari lingkungan domestik (dalam rumah) maupun publik (tempat kerja, masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik dan Negara). 

Berhadapan dengan kultur pria atau budaya maskulin dimana terjadi perendahan martabat perempuan, seharusnya pemerintah dapat bersinergi dengan berbagai elemen yang ada, seperti Institusi keagamaan (Gereja), untuk membangun konsep berpikir masyarakat bahwa secara Teologis perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang se"citra" dengan Allah. Tradisi Agama (Kristen) tidak menyuburkan kebencian dan kecurigaan pada perempuan dalam "doktrin" dosa asalnya. Sekarang saatnya mulai dikembangkan paradigma baru yang melihat keterkaitan antara laki-laki dan perempuan dalam arti yang lebih positif. Secara normatif, semua agama adalah anti kekerasan. Maka normativitas ini cukup beralasan untuk mendorong pentingnya kerjasama antara agama dan jaringan-jaringan pembela kaum perempuan dalam menegakkan keadilan gender serta pembelaan terhadap para korban yang tidak berdaya. Kita perlu memberikan apresiasi terhadap Divisi Perempuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), yang dipimpin oleh Sr. Eustachia, SSpS yang telah berupaya melakukan terobosan dalam mengembalikan martabat kemanusiaan kaum perempuan korban kekerasan budaya melalui pemberlakuan belis yang hingga saat ini masih dilestarikan. Sr. Eustachia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan dan ketidak adilan. Jadi, arus dasar yang diperjuangkan disini adalah membela perempuan yang tertindas dan membongkar budaya Patriarkhi yang berkembang dalam lingkungan domestik maupun publik.

Manifestasi dari Budaya Patriarkhi yang dominan masih dipertahankan di NTT adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kaum perempuan. Para elit di daerah cenderung berasumsi bahwa kesehatan adalah persoalan seputar penyakit, rumah sakit dan hal-hal yang bersifat kuratif. Kesehatan tidak pernah dipandang sebagai investasi sumber daya manusia. Perempuan yang sehat apalagi berpendidikan dan berdaya akan melahirkan generasi yang sehat, berpendidikan dan percaya diri. Penetapan anggaran untuk biaya kesehatan perempuan angkanya cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan pos-pos lain. Anggaran kesehatan sebenarnya harus dimulai dengan upaya pendidikan bagi masyarakat (perempuan). Pemerintah terutama dinas terkait perlu mengalokasikan anggaran untuk mendorong masyarakat terutama perempuan untuk hidup sehat dan tidak sebatas menjalankan proyek. Belum pernah terdengar bahwa isu kesehatan menjadi faktor penentu dalam kampanye politik Pilkada. Selain itu ada persepsi yang keliru tentang otonomi daerah sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Anggapan ini akhirnya berekses pada aspek kesehatan. Layanan kesehatan dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah bukan sebagai hak masyarakat yang harus diberikan. Tidak heran banyak Puskesmas terpaksa menaikkan tarifnya untuk memenuhi target yang dibebankan. Esensi otonomi daerah yang sebenarnya adalah pemberdayaan masyarakat terutama memberantas kemiskinan dengan memadukan pendekatan kultural dan struktural. Pada lingkungan domestik terjadi ketimpangan relasi antara suami dan isteri.  Seringkali perempuan tidak mempunyai keleluasaan untuk memanfaatkan uang untuk kesehatannya. Kepentingan mendasar perempuan sering dikalahkan oleh kesenangan suami untuk membeli rokok, minuman keras dan berjudi.

Persoalan seputar merosotnya keterlibatan peserta KB dan meningkatnya angka kelahiran            merupakan tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah dalam mengkonkritkan visi dan misi BKKBN, yakni memaksimalkan strategi dasar dengan menggerakkan dan memperdayakan seluruh masyarakat dalam program KB, artinya ada upaya membangkitkan dan menggerakkan masyarakat mengembangkan diri menjadi lebih berdaya dan berusaha mengarahkan kehidupan mereka sendiri, membentuk masa depan sesuai martabamya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Inilah pemberdayaan dengan mengembalikan masyarakat (perempuan) pada nilai-nilai budaya yang berperikemanusiaan dan terhormat. Kita perlu belajar dari masyarakat Padang (Sumatera Barat) yang memaksimalkan lembaga adat Bundo Kandung sebagai pintu masuk untuk melakukan perubahan. Wujud partisipasi konkritnya antara lain : melakukan transformasi sosial dan mereinterpretasi nilai-nilai budaya yang menyubordinasikan perempuan serta ikut mengontrol pembangunan. Masyarakat perlu disadarkan bahwa mengikuti program KB bukan karena program pemerintah tetapi merupakan kebutuhan pribadi. Respon masyarakat yang negatif terhadap program KB selama ini lebih dikarenakan mereka dijadikan "obyek" dari proyek tersebut. Kita pertu menyadari bahwa merosotnya peserta KB di NTT umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, menurunnya daya beli dan keterbatasannya alat-alat kontrasepsi, rendahnya keikutsertaan laki-laki dalam program KB dan terbatasnya pengetahuan peserta KB tentang cara memakai alat kontrasepsi dan efek sampingnya serta minimnya fasilitas pendukung lainnya. Berhadapan dengan kekurangan tersebut pemerintah perlu mengevaluasi apakah skenario yang dikembangkan selama ini untuk memotivasi keikutsertaan masyarakat dalam program KB sudah efektif atau belum.

Perubahan sistem pendidikan yang sebelumnya terpusat menjadi desentralisasi sangat memungkinkan pemerintah didaerah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pihak sekolah terutama guru untuk bereksplorasi baik dalam program maupun kurikulum yang kontekstual berdasarkan kebutuhan bahkan menyatu dengan budaya dan karakter setempat. Kurikulum Pendidikan tahun 2013 memberikan ruang yang cukup leluasa dan positif bagi guru untuk berimprovisasi mendesain bahan ajar dalam membangun cara berpikir siswa tentang kesetaraan Gender dan Problem Seputar Kesehatan Reproduksi (Kespro). Ada indikasi tingginya angka kematian ibu melahirkan di NTT disebabkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak reproduksi kaum perempuan antara lain : pelanggaran terhadap hak atas kebebasan dan keamanan individu untuk mengatur kehidupan reproduksinya (hamil atau tidak hamil), hak untuk dibebaskan dari resiko kematian karena kehamilan, hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan (hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan), hak memilih bentuk keluarga dan hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam bidang politik serta hak untuk mendapatkan pendidikan yang terkait dengan masalah kesehatan reproduksi. Cukup urgen dan signifikan jika persoalan ini diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Jadikanlah sekolah sebagai media yang efektif untuk membangun budaya kasih dan sarana jitu untuk memutuskan mata rantai atau mematahkan siklus kekerasan terutama yang bernuansa Gender.

Marilah menciptakan ruang yang adil, damai dan cerah bagi kehidupan sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati dan kepekaan nurani. Alangkah indahnya dunia kita manakala manusia sebagai karya agung Tuhan, kembali menikmati nuansa firdaus dengan penuh canda dan tawa dalam kesetaraan derajat dan martabat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Panggilan Karya/Profesi

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan