Literasi Reba Deru (Bagian Pertama) : Soka Sedo

Berdasarkan perhitungan kalender tradisional Ngada, perayaan pesta reba Deru jatuh pada awal Februari. Kalender tradisional tersebut disusun berdasarkan pada perhitungan bulan, sejak bulan timbul(wula be)sampai bulan timbul berikutnya kurang lebih 28 hari, pelaksanaan budaya reba serta masa penanaman dan kondisi tanaman. Disparitas dengan tahun masehi berkisar antara dua atau tiga hari, sehingga pada kalender adat satu tahun menjadi 13 bulan.

Ada empat suku yang merayakan reba Deru, yakni Woe Loma, Woe Deru, Woe Pora, dan Woe Bu’u. Selama tiga hari berturut-turut masyarakat dari empat suku tersebut sungguh merasakan euforia reba. Hari ketiga merupakan perayaan puncak. Salah satu kegiatan awal sebelum menuju puncak acara puncak adalah Soka Sedo yang dilakukan di halaman kampung (nua) Woe Deru.

Soka sedo merupakan upacara setelah kelo ghae yang dilaksanakan baik di loka Woe Deru (eko nua) maupun di loka sa’o Patola. Soka yang dilakukan di loka woe Deru merupakan star awal untuk pelaksanaan Sedo Deru di loka woe Loma. Soka sedo adalah ajakan kepada seluruh komponen manusia yang ada disekitar kampung Deru maupun kampung tetangga bahwa saat ini orang Deru akan merayakan pesta reba dan juga ajakan untuk boleh datang menyaksikan kultus tersebut yaitu Sedo Deru.

Syair-syair yang diucapkan bersahutan antara pembawa yang di tengah yang berjumlah enam orang secara berhadapan dengan massa yang berada disekelilingnya sebagai berikut :

Wa’i zua.....e e....oi oi...
Ana deru reba uwi e e e
Ao ana deru....reba uwi oo (3x)
Orang Deru....merayakan reba uwi
Nage reta mai moni  i i i
Nage mai moni, nage reta mai moni...tewi ne’e go wa’i a..
Nage mai moni o o o..

Selanjutnya berturut-turut diikuti dengan kalimat-kalimat (sabhe) sebagai berikut:
Uwi resa mena lodo
Koto kazi nono may
Go uwi halo leza
Sedu ruo wali
Go uta kore kowe
Mai peku lapu lika
Nalu zili sa’o are
Ma’e more wali mange
Ine wae susu ine
Susu leu pale wana
Zi’a ana naka zi’a
Weki zi’a lo pawe
Guru waja bheto waja
Waja dhu olo-olo
Go nao delu telu
Sala ma’e owa sala
Kua de ana lako kua
Zele Peo sadho wolo
               
Makna syair-syair tersebut merupakan pemaknaan tentang  betapa bermanfaatnya uwi (ubi) sebagai makanan untuk melanjutkan kehidupan. Tanaman ubi juga sebagai tanaman yang tahan panas dan tahanakan akan penyakit. Setelah soka ini berakhir kemudian dilanjutkan dengan Kelo Gha’e.

Kelo Gha’e (Perarakan) merupakan upacara perarakan uwi dari bo ma’e (meri) menuju loka  sedo. Kelo ghae pada hakekatnya merupakan jenis tarian untuk mengiringi uwi tersebut. Uwi dibawa  oleh anak-anak ( diletakkan pada bahu) utusan dari masing-masing sa’o meze yang mengenakan pakaian seragam lengkap layaknya orang-orang dewasa. Selama perjalanan kelo ghae, semua peserta terus melantunkan syair O Uwi diiringi  langkah kaki yang berirama.

Setibanya di Loka Sa’o Patola-Gebha Wea Soka Sedo kembali dilanjutkan, dan menggunakan syair yang sama seperti pada acara soka di Woe Deru.(John Lobo)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan

Panggilan Hidup Membiara

Menakar Peluang PSN Ngada di Liga 4 ETMC NTT