Literasi Reba Deru (Bagian Kedua) : Rei-Rei Wara
Prosesi Kelo Gha’e atau perarakan uwi dari Woe Deru
(Wewa Sa’o Liko Deru) menuju Woe Loma berlangsung sekitar empat puluh lima
menit setelah melintasi pemukiman penduduk di Nua Kisa dan Bo Ma’e (Meri) atau
gapura masuk kampung Woe Loma.
Sesampainya di halaman Sa’o Patola-Gebhawea warga
yang hadir dengan pakaian adat lengkap langsung membentuk formasi lingkaran dan
siap mengikuti prosesi Soka Sedo dan Rei-rei Wara. Perihal Soka Sedo yang
dilaksakan di Woe Loma, keberadaanya baik konten, prosesi maupun makna yang
terkandung didalamnya sama seperti yang dilakukan di Woe Deru.Setelah Soka
dilanjutkan dengan tahapan berikut yaitu Rei-rei Wara.
Menurut pemahaman orang Deru, Wara (angin) merupakan
musuh leluhurnya karena angin (wara) merupakan
pembawa sumber malapetaka dan bencana
yang bisa merusak semua jenis tanaman. Oleh karena itu butuh strategi jitu
untuk mengalahkannya. Menurut Didakus Lina tokoh adat asal Woeloma, menuturkan
bahwa tradisi yang berkembang untuk mengalahkan angin sebagai sumber bencana
adalah melakukan penolakan dengan cara mengusirnya. Pengusiran ini dilaksanakan
agar masyarakat bisa hidup tenang dan segala tanaman bisa aman dari ancaman
penghancuran. Penolakan terhadap angin oleh masyarakat Deru dilakukan melalui kata-kata yang keras bahkan
mengeluarkan kata-kata kotor (momo). Hal ini ditunjukkan lewat syair-syair yang
dilantunkan dalam bentuk dialog atau puisi berantai antara seorang pemimpin
dengan para peserta lainnya .
Pemimpin atau pemandu prosesi upacara Rei-rei wara
merupakan tokoh yang berasal dari salah satu ana sa’o Kepo Wesu (pewaris sah
ritus Reba Deru). Secara bergantian antara pemimpin dan masyarakat yang hadir
melantunkan syair-syair berikut ini :
Choir (doa): ...Ea ae ae ae.....
P : Rei-rei rei
meo wara
Warga : Wara da loegha... a e
P : Wara... meo wara...
Warga : Meo wara e..e
P : Wara da loe lau wio reo kego
Warga : Wara loe lau wio reo kego
Choir (doa) : ...Ea ae ae ae....
P : Rei-rei rei
meo Lenga
Warga : Lenga Loe gha a e
P : Lenga...meo Lenga
Warga : Meo Lenga e...e
P : Lenga da loe beli sala reo kego
Warga : Lenga loe beli sala reo kego e...e
Choir (doa) : ...Ea ae ae ae.....
P : Rei-rei rei meo wara
Warga : Wara da loegha a... e
P : Go wara angi epa
Warga : Kami bau e.. a e
P : Go pare ne’e uwi
Warga : Idi mai e... a e
P : Wara..... meo wara
Warga : Meo wara e... a e
P : Loe lau wio reo kego...
Warga : Wara loe lau wio reo kego
Semua : Ae ae ae e...
Rei Wara merupakan upaya untuk mengolok angin
(Wara) yang dipersepsikan sebagai Roh Perusak.Pendapat tersebut disampaikan
oleh Dr. Drs Watu Yohanes Vianey, M.Hum
pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dalam sebuah
diskusi sederhana di salah satu media sosial. Secara historis, Rei-rei wara juga
merupakan ritus yang diatur secara
khusus untuk mengejek angin. Salah satu cara untuk menaklukan atau menghardik
(mengalahkan) lawan (angin) melalui ejekan ternyata cukup efektif. Melaui
berbagai ejekan bahkan makian (momo) dengan bahasa yang cendrung kasar, angin
akhirnya toh bisa kalah. Oleh karena itu,pemaknaan Reba menurut masyarakat
setempat juga berarti kemenangan atas Roh Perusak.
Setelah dialog berakhir kemudian dilanjutkan dengan
upacara He Ulo. Masyarakat yang memiliki
tradisi tersebut meyakini bahwa He Ulo merupakan seruan untuk membangkitkan
semangat bagi para peserta yang ikut dalam tarian. Selain itu, he ulo dipahami
juga sebagai seruan untuk mengundang nitu dewa (roh leluhur) agar hadir dalam
upacara tersebut. Upacara ini dilaksanakan sambil mengelilingi loka sedo .
Sembari menanti acara Sedo, seorang pemandu yang berdiri di atas Ture Lengi
mengamati persiapan para peserta. Jika
persiapan sudah selesai maka dilanjutkan dengan himbauan untuk melaksanakan
tarian Sedo Deru . (John Lobo)
Komentar
Posting Komentar