Literasi Reba Deru (Bagian Keempat) : Zo Wuwu Mai
Setelah
acara sedo berakhir, peserta langsung menyiapkan diri untuk kegiatan Zo Wuwu
Mai. Sementara itu beberapa jenis aksesoris yang digunakan sebelumnya seperti
Tuba dan Sau diwajibkan untuk dilepas atau ditanggalkan. Dari pihak Teke Wesu
(Sa’o Patola) menyiapkan Bhuja (sejenis
tombak) setelah itu diserahkan kepada empat pasang laki-laki dan perempuan yang akan
berdiri paling depan selama prosesi Zo Wuwu Mai berlangsung.Bhuja tersebut
digenggam cukup erat dan berfungsi sebagai pembatas agar peserta tetap berada
dalam barisan yang teratur dan rapi.
Secara
historis, Bhuja Ga’e atau Bhuja Kawa tersebut merupakan warisan yang diberikan
oleh Gale Ga’e dan Ngao Ngedo sebagai pemilik (Mori Wesu) Reba Deru kepada Paji
nee Tado sebagai penjaga, pelestari, penerus(Teke Wesu) Reba Deru. Alasan
mendasar bahwa Gale Ga’e dan Ngao Ngedo menyerahkan tradisi reba tersebut
karena mereka sedang konsentrasi untuk berperang terutama menghalau musuh yang datang
dari berbagai penjuru menyerang kampung halamannya.Selain itu Gale Ga’e dan
Ngao Ngedo juga menyerahkan Ngia Ngora (lahan pertanian atau ladang maupun
hutan) yang harus dikelola untuk menanam padi (pare), ubi (uwi) dan berbagai
jenis tanaman yang berguna untuk kebutuhan sehari-hari terutama jenis tanaman
yang mendukung tradisi reba.Ada dua ngia ngora yang dimaksud, yaitu lahan yang
berada di Tana Li (Bejo) dan Pomawio. Melalui ngia ngora juga Paji nee Tado
mewariskan tradisi budaya tanam yaitu Zo’a Bhoko nee Bere Kedhi. Oleh karena
itu kedua Sa’o (Patola dan Gebha Wea) ditahbiskan sebagai pera riwu (pelaku
utama) dalam hal menanam. Kedua Ngia ngora yang diberikan tersebut merupakan
penjamin komitmen yang diberikan agar Paji nee Tado serius dan sanggup untuk
menjaga, meneruskann dan melestarkan Reba Deru.
Zo
Wuwu Mai merupakan sub kegiatan Reba yang unik dalam masyarakat Ngada, artinya
tradisi tersebut hanya ada dalam Reba Deru dan suku-suku lain yang tersebar di
Ngada tidak memilikinya.Keunikan itu terletak pada tata gerak dan lagu serta
makna yang terkandung di dalamnya.Dalam tata gerak peserta melakukannya dengan
sederhana. Sambil memegang Bhuja Kawa keempat pria yang berada di depan saling
berhadapan dengan keempat perempuan sambil bergerak secara berlawanan ke kiri
dan ke kanan. Mereka bertindak sebagai pemandu. Selanjutnya peserta yang berada
di belakang keempat perempuan dengan kedua telapak tangan terbuka mengikuti
gerakan mereka. Peserta harus mundur dan maju beberapa langkah secara
teratur baik ke kiri maupun kekanan
sesuai dengan syair yang dinyanyikan.
Lirik
yang dinyanyikan selama Zo Wuwu Mai adalah penyebutan nama-nama pasangan dari
setiap sa’o meze yang menyebar pada ketiga suku yang melaksanakan Reba yaitu Woe
Loma, Woe Deru, dan Woe Bu’u. Contoh;
Pemandu
: E e e e me Lina ate ame ka’e, ne Bhoki kau sia fine ga’e, Ne Bhoki kau zo
wuwu mai 2x
Peserta
: Wuwu mai...wuwu mai ne Bhoki kau zo wuwu mai
ne Bhoki kau zo wuwu mai...dan
seterusnya hingga nama pasangan yang mendiami semua Sao Meze di sebutkan.Sembari
melantunkan lirik-lirik tersebut peserta juga melakukan gerakan-gerakan seperti
yang disampaikan sebelumnya.
Mendengar
namanya dinyanyikan melalui lantunan lirik lagu dan tari zo wuwu mai, maka
mereka bergerak memasuki area kegiatan sambil membawa persembahan berupa nasi
(maki sewati) daging ayam dan moke dua botol, menuju Nabe (batu) tempat
meletakkan persembahan . Makanan dan minuman yang dihantar akan dijadikan
santapan bersama setelah rangkaian acara tersebut berakhir.
Menurut teori kulturkreis,
Wuwu sama dengan Ulu wuwu yaitu ubun-ubun/cakra
mahkota. Misteri konsep zo wuwu mai terasa dekat dengan filsafat Tao (China) Wu
Wei.Dengan sikap Zo yang berarti menganugerahkan pemberian ikhlas dari 'atas'
(Dewa Zeta) yang diteruskan secara pasif, natural dan sadar ("wuwu")
oleh manusia ("kita ata") yang "mai" (datang berproses)
sebagai "existenz" (penyalur berkat dari Sang Maha Ada yang
menghendaki kita selalu ada dalam lingkaran tarian hidup bersama yang
berpasangan secara pantas dan serasi seperti yang Dia telah tetapkan (titi
bhigi tegha wegha) dari semula. Muncul misalnya dalam karakter generalis isi
Deru yang suka (mudah) memberi, tidak pelit, penyayang dan pengasih, suka
menolong, dan baik hati.Demikian tanggapan Dr. Drs Watu Yohanes Vianey, M.Hum
pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dalam sebuah
diskusi di media sosial.(john Lobo)
Komentar
Posting Komentar