Literasi Reba Deru (Bagian Kelima) Pebhe Telo : Memberi Makan kepada Nitu Dewa
Berdasarkan
cerita rakyat yang yang berkembang pada zaman dahulu dan memiliki relasi
signikan dengan reba Deru terutama ritus Pebhe Telo (lempar telor) bahwa, acara
tersebut merupakan pemberian makanan kepada Nitu Dewa yakni suaminya ine Nalo
ana ebu Gale Ga’e (Mori Wesu Reba Deru) yang bersuamikan dengan seorang Nitu.Ine
Nalo bersama suaminya Nitu Dewa bertempat tinggal Zale One Wae (dalam air) di
salah tempat namanya Nabe Nalo (dekat Wae Koko) .
Perihal
pelaksanaan, pebhe telo berlangsung senja hari sekitar jam 16.30 waktu
Indonesia bagian tengah (WITA) .Durasi waktu yang dibutuhkan untuk prosesi
tersebut cukup singkat yaitu dua menit lima puluh dua detik.Pasca Zo Wuwu Mai
peserta bergeser dan berkumpul di depan dan bagian selatan bhaga Deru ine Pama persis
didepan sa’o teke wesu (Patola dan Gebha wea).Sementara itu dua orang lelaki dari
teke wesu mengambil posisi, salah satunya berada di dalam Bhaga yang berperan
sebagai so’i maro (tuan rumah) dan yang satunya berada diluar (zae mo’a) yang
berperan sebagai tamu dengan nama Keko Roka nee Bari Tori. Ketika kedua orang
tersebut melakukan dialog, suasananya berlangsung cukup hening.
Kronologis
dialog dalam acara Pebhe Telo (lempar telur) berlangsung sebagai berikut :
Tamu
: O so’i maro-o mori sa’o, sa’i ngao kao-kai ngao sao
Tuan
Rumah : Sau-sau kei-kau-kau sei
Tamu
: Jao keko roka, jao bari tori kau kai ngao sa’o
Tuan
Rumah : e e jao kai gau sa’o kau ti’i ngao go apa, Jao dia moe ngana bori ogi, moe ha’e dhiri bhaku, siwe
da
sai sala, neko da peta tona. Jao kai gau sao kau tii ngao apa?
Tamu
: Jao tii gau uwi isi meze..., pare wole lewa..., go sue we pale ulu...,go meko wi tere tolo..., kau kai ngao sao...!
Jawaban
terakhir dari Keko Roka nee Bari Tori sangat
meyakinkan sehingga tanpa ragu So’i Maro/ Mori Sa’o (tuan rumah) kemudian
membukakan pene (pintu) Bhaga dan menyerahkan sebutir telur ayam kampung dan
segenggam beras yang diletakkan di dalam
tempurung kelapa . Berikutnya sang tamu yang betindak sebagai pemandu ritual
tersebut berjalan menuju selatan Bhaga dan melakukan acara pebhe telo. Sembari memegang
telor pemandu mengucapkan kalimat berikut ini sebanyak tiga kali sebagai bentuk
sapaan atau pemanggilan terhadap Nitu Dewa dengan berteriak :
Pemandu
: Jara la la la....Nitu mena ra- zae poso, ka dhea bhoso telo (3X)
Peserta : I i i i i... ka... dhea bhoso telo (3X)
Dialog
sebanyak tiga kali diakhiri dengan pelemparan telur ke udara melewati Ghubu Sa’o
(atap rumah) teke wesu sedo deru (Patola & Gebha Wea) . Ada keyakinan yang
berkembang dalam masyarakat setempat bahwa jika telur yang dilempar itu pecah di udara maka akan terjadi musibah besar
yaitu badai atau angin topan yang bakal mengancam dan merusak tanaman penduduk
yang mendiami desa Nenowea.
Komentar
Posting Komentar