Literasi Sosial dan Jati Diri Guru Inklusif
Hari Minggu 27 Mei 2018 setelah misa pagi,
tatkala sedang mendampingi orangtua komuni pertama mengikuti rekoleksi di balai
pertemuan paroki St.Yoseph Mojokerto, dua pesan masuk dalam group WhatsApp
Bimas Katolik Jatim. Konten dari message
tersebut berisi tanggapan terhadap foto yang saya unggah tentang kegiatan sahur
dan nonton bareng final piala Eropa dari warga di tempat saya berdomisili yaitu
Rt.007 Rw.013 desa Japan kecamatan Mojokerto. Pertandingan yang berlangsung di
Kiev ibukota Ukraina tersebut mempertemukan klub raksasa asal Spanyol Real
Madrid kontra Liverpool dari Inggris. Pembauran penuh keakraban dari segala
usia, profesi dan agama itu mencapai klimaks ketika tiba waktu untuk sahur.
Media daun pisang yang membentang sebagai wadah makanan dengan menu lele , tahu
dan tempe penyet, terong, sambal dll. membuat suasana sahur semakin gayeng.
Beberapa foto dengan narasi singkat tersebut
mengundang tanggapan beraneka ragam. Berikut komentar “seksi” dari salah satu akun “ Mohon maaf moment ini ditujukan untuk siapa. Ini group Bimas Katolik.
Semoga bisa bedakan mana kasanah Katolik dan Muslim tidak harus semua di share.
Maaf coba di evaluasi secara benar
jangan kita ikut-ikutan bukan hari
keagamaan kita apalagi ini group Bimas Katolik Jatim”. Jeda beberapa menit,
masuk lagi tanggapan berikutnya “Tolong
kepada rekan-rekan group Bimas katolik Jatim sebelum kita memuat berita atau
share cerita selami dulu isinya agar tidak salah konsep dan salah kirim. Maaf
terima kasih bila tidak berkenan”
Beberapa orang yang ada dalam group tersebut
meresponnya dengan beberapa komentar yang variatif. Hingga akhir “perdebatan”
saya menyampaikan “ terima kasih atas
suntikan sarat vitamin dan pemberikan gizi seimbang pada postingan saya hari
ini”. Sebagai pegiat literasi dan penggagas Gerakan Katakan dengan Buku
(GKdB) saya menghakhiri dengan salam penutup “salam literasi dan salam katakan dengan buku”
Literasi dan Perkembanganya
Secara konvensional, literasi bermakna
kemampuan mengenali abjad dan angka yang tercermin pada kemahiran membaca,
menulis, dan berhitung (read, write,
arithmetic). Namun, makna literasi kini sudah diperluas melampaui pengenalan
abjad dan angka. Demikian juga dengan kegiatan literasi tidak hanya dimaknai
secara konvensional yaitu kemampuan membaca dan menulis, namun juga dapat
diterjemahkan sebagai kemampuan untuk mengatasi persoalan, meningkatkan
kualitas hidup dan kesejahteraan serta keharmonisan kehidupan sosial
kemasyarkatan.
Literasi merupakan kemampuan mengakses,
memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas,
antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/berbicara. Literasi merupakan
sebuah proses yang awali dengan keberaksaraan dan selanjutnya dimaknai menjadi melek
atau keterpahaman. Tuntutan untuk kita saat ini adalah melek multiliterasi.
Abidin (2015) Multiliterasi dimaknai sebagai keterampilan menggunakan beragam
cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan
bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks inovatif, simbol, dan
multimedia.
Bahkan supaya bisa eksis di abad 21, kita
harus memiliki banyak kemampuan literasi antara lain : literasi baca-tulis, literasi berhitung
(dasar), literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi
finansial (keuangan), serta literasi budaya dan kewarganegaraan. literasi
kesehatan, literasi keselamatan (jalan, mitigasi bencana), dan literasi
kriminal (“sekolah aman”), serta literasi pertanian . Literasi gestur pun perlu dipelajari untuk mendukung
keterpahaman makna teks dan konteks dalam masyarakat multikultural dan konteks
khusus para disabilitas (Pangesti, Mei 2016). Literasi merupakan sesuatu yang
terus berkembang atau terus berproses, yang pada intinya adalah pemahaman
terhadap teks dan konteksnya sebab manusia berurusan dengan teks sejak
dilahirkan, masa kehidupan, hingga kematian. Keterpahaman terhadap beragam teks
akan membantu keterpahaman kehidupan dan berbagai aspeknya karena teks itu
representasi dari kehidupan individu dan masyarakat dalam budaya masing-masing.
Mengingat guru merupakan role model dalam berliterasi, seyogyanya terus
berproses untuk menjadi individu yang literat hingga literasi menjadi kultur
atau budaya yang mendarah daging pada dirinya.
Jati diri Guru Inklusif
Setiap individu memiliki konsep dan sikap
yang tidak sama terhadap perbedaan. Ikatan primordial akan sangat lekat dalam
pribadi yang menolak atau anti terhadap perbedaan. Saat ini ikatan tersebut
masih sangat terasa. Semakin rendah perilaku penerimaan terhadap perbedaan
semakin tinggi ikatan primordialnya.
Sebagai agen perubahan dan pembauran, guru
berhadapan langsung dengan kedua konsep dan sikap tersebut baik dalam
lingkungan sekolah maupun masyarakat. Akan menjadi persoalan besar jika guru
tampil sebagai sosok yang anti terhadap perbedaan. Oleh karena itu, dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, ditegaskan bahwa guru harus bersikap
inklusif dan terbuka peserta didik, teman sejawat, dan lingkungan sekitar.
Terminologi inklusif dalam sebuah terjemahan bebas berarti terbuka,tidak
menolak perbedaan, tidak alergi terhadap perbedaan, toleran, dan mengakui
persamaan-persamaan universal.
Menumbuhkembangkan sikap inklusif , bukanlah
perkara mudah. Proses revolusi mental atau nurani dan perilaku sangat
dibutuhkan. Salah unsur yang sangat mempengaruhinya adalah kadar pengetahuan
yang didapatkan dari kemampuannya berliterasi. Keberpahaman terhadap perbedaan
secara baik dan benar merupakan takaran yang efektif terhadap jati diri guru
yang inklusif.Semakin banyak sumber bacaan dan semakin sering guru mengasah
nalarnya melalui aktifitas membaca tentu semakin baik keluasan berpikir guru
yang bersangkutan. Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita
sendiri. Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh orang-orang lain,
entah mereka nyata atau imajiner, merupakan petunjuk yang sangat penting
terhadapa pemahaman mengenai siapa sebenarnya diri kita ini dan bisa menjadi
seperti apakah kita (Hernowo, 2015). Guru harus mencari cara untuk menemukan
manfaat dari membaca bagi hidupnya sendiri.
Dalam konteks kehidupan sosial
kemasyarakatan, guru inklusif merupakan guru yang mampu melayani masyarakat
majemuk. Melalui kemampuan literasi sosial yang mumpuni guru akan keluar dari
zona nyaman dan menjumpai orang lain serta bersosialisasi dan berdialog dengan baik di
tengah-tengah perbedaan.
Komentar
Posting Komentar