Terima Kasih, Bapa Suci

Tidak ada puisi terindah yang dapat kami rangkai selain mengucapkan,“Terima Kasih, Bapa Suci Fransiskus.” Siapalah kami ini sehingga Bapa berkenan meluangkan waktu dan menempuh penerbangan lebih dari 13 jam dari Vatikan ke Indonesia. Di usia yang ke-87 tahun, dengan kondisi kesehatan yang tidak baikbaik saja, sungguh kami merasakan betapa besar kasih Bapa kepada kami umat Katolik khususnya dan bangsa Indonesia. Kami tahu, kunjungan ini tertunda karena pandemi yang mendera dunia tahun 2020. Kami pun sudah merindukan kehadiran Bapa sebagai Gembala Utama kami, wakil Kristus di dunia ini hadir di Tanah Air kami yang juga tidak sedang baik-baik saja.

Bapa Suci, terima kasih karena telah memperlihatkan kepada kami kasih tak berkesudahan. Sejak Bapa turun dari tangga pesawat, detik itu pula kami menyaksikan kasih dengan kesahajaan yang asali. Bapa Suci tidak menggunakan kendaraan yang disiapkan oleh pemerintah negara kami, mengingat kedudukan Bapa Suci sebagai Kepala Negara Kota Vatikan. Bapa Suci memilih mobil SUV sederhana warna putih. Tidak hanya itu. Bapa Suci memilih untuk duduk di samping pengemudi. Betapa itu telah menampar wajah kami yang suka menempatkan orang lain di posisi yang jauh dari kami karena perbedaan kedudukan dan kepemilikan harta duniawi. Dari kejauhan, samar-samar kami melihat, Bapa berbincang akrab dengan sang pengemudi.

Kaca jendela mobil pun selalu Bapa buka lebar-lebar dan melambaikan tangan kasih dan berkatmu kepada setiap umat/warga yang ingin melihat wajah Bapa dari dekat atau langsung dengan mata kepala sendiri. Tak jarang, Bapa meminta pengemudi dan keamanan untuk berhenti sejenak manakala ada anak-anak yang digendong atau ibu yang sedang mangandung. Bapa memberkati mereka. Bahkan, pada momen lain, Bapa memeluk anak yang sangat beruntung bisa merasakan kasih Bapa walau hanya sedetik sekali pun.

Terima kasih, Bapa Suci karena telah memperlihatkan kepada kami bagaimana kasih persaudaraan itu adalah harta terindah yang diberikan Allah kepada kita, makhluk-Nya yang kerap menjadi homo homini lupus. Setelah menandatangani Deklarasi Istiqlal, dengan ketulusan, Bapa Suci mencium tangan Imam Besar KH Nasaruddin Umar. Semua mata tertuju pada momentum yang sangat langka dan tak terduga itu. Perbedaan keyakinan justru mengeratkan tali persaudaraan sejati. Bapa Suci telah memperlihatkan hal ini juga ketika bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar Ahmed al-Tayyep.

Bapa Suci, terima kasih karena telah menguatkan serta mendorong kami yang lemah ini untuk tidak pernah putus dalam menebarkan jala kasih seperti Rasul Petrus yang Bapa sebut dalam khotbah yang sangat menyentuh di GBK saat Misa kudus bersama umatmu dari seluruh keuskupan di Indonsia. Seraya dengan itu, Bapa mengajak kami untuk terus bermimpi.

Terlalu banyak hal yang tak dapat kami ungkapkan dengan sejuta kata atas betapa banyak kenangan yang Bapa tinggalkan di tanah Nusantara ini. “Jejak-jejak” Bapa, selama empat hari ini akan terus tumbuh subur. Bapa Suci tak pernah meninggalkan kami. Terima kasih, Bapa.

Sumber : Tajuk Majalah Hidup 37 Tahun ke-78 15 September 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Panggilan Karya/Profesi

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan