Panggilan Karya/Profesi






A.      Persepsi Kita

Manusia adalah makluk pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka apapun suatu pekerjaan, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai di hadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman serta gaya hidup dewasa ini, makna dan nilai bekerja nampaknya telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di zaman yang semakin kompleks, makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja identik dengan kepuasan materialistik. Manusia bekerja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal. Modal dan uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). (Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil ekonomis seseorang mengabaikan nilai moral dalam bekerja dengan melakukan praktik ketidakjujuran. Kasus korupsi yang menggurita di Indonesia adalah contoh konkrit bagaimana orang bekerja mengumpulkan harta secara tidak jujur. Pergeseran kerja pun tampak dalam pilihan bekerja. Bekerja yang meningkatkan gengsi sekaligus meningkatkan hasil ekonomis yang banyak diburu. Demi mendapatkan pekerjaan itu, seseorang menghalalkan segala cara. Di dalam masyarakat pun tercipta pembedaan mana pekerjaan yang kelas satu dan mana pekerjaan yang kelas dua. Masyarakat kurang menghargai pekerjaan domestik atau pekerjaan biasa, seperti ibu rumah tangga, buruh dan petani, meskipun pekerjaan itu dijalani dengan penuh ketekunan dan pengorbanan.

Gereja Katolik melalui Ajaran Sosialnya menaruh perhatian yang serius pada nilai kerja manusia. Manusia diciptakan menurut gambar Allah dan diberi mandat untukmengelola bumi. Dengan ini, manusia hendaknya menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Dengan tenaganya, manusia memberikan sumbangan merealisasikan rencana Tuhan di bumi. Manusia diharapkan tidak berhenti untuk membangun dunia menjadi lebih baik atau mengabaikan sesama. Manusia memiliki tanggung jawab lebih untuk melakukan hal itu. (LE25). Karena pekerjaan merupakan kunci atau solusi dari masalah sosial. Pekerjaan sangat menentukan manusia dalam membuat hidup menjadi lebih manusiawi. (LE 3). Sebagai citra Allah, peran kerja manusia sangat penting sebagai faktor produktif, untuk memenuhi kepenuhan material dan non material. Hal ini jelas, karena dalam melakukan pekerjaan, seseorang secara alami terhubung dengan manusia atau pekerjaan orang lain. Dengan bekerja, manusia berinteraksi dengan manusia lain. Lewat bekerja pula, manusia menghasilkan sesuatu untuk orang lain. Dengan demikian, pekerjaan membuat manusia menghasilkan sesuatu, menjadi berubah dan produktif. Karena sumberdaya manusia yang bekerja jauh lebih luas daripada sumber daya alam dan karena itu membuat manusia semakin sadar untuk mengolahnya.(Centesimus Annus 31).

Semoga kalian mampu merefleksikan makna kerja dalam terang Ajaran Sosial Gereja. Sebagai orang beriman kita diajak melihat kembali makna bekerja dengan semangat atau berdasarkan iman. Dengan demikian, kita dapat memahami makna bekerja secara otentik bahwa bekerja merupakan perwujudan iman kepada Tuhan. Budaya kerja hendaknya ditanam dan dikembangkan oleh setiap orang, karena kerja merupakan martabat pribadi setiap manusia. Oleh
adanya gaya hidup modern yang materialistis dan hedonistis, banyak dari kalangan generasi muda yang ingin hidup enak, bersenang-senang, santai tanpa mau bekerja. Perilaku seperti ini menimbulkan efek negatif dengan munculnya berbagai tindakan kejahatan sosial.


B.      Konsep Kerja
1.       Arti Kerja
a)       Kerja adalah setiap kegiatan manusia yang diarahkan untuk kemajuan manusia, baik kemajuan rohani maupun jasmani, dan mempertahankannya. Karena itu, pekerjaan memerlukan pemikiran dan merupakan kegiatan insani.
b)       Kerja memerlukan pemikiran. Kerja dengan sadar harus diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan keistimewaan makhluk yang berakal budi Sebab, hanya manusialah yang dengan sadar dan bebas dapat mengarahkan kegiatannya kepada suatu tujuan tertentu.
c)       Kerja merupakan kegiatan insani yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Oleh karenanya, setiap jenis pekerjaan memiliki martabat dan nilai insani yang sama. Dipandang dari segi ini, tidak ada pekerjaan yang kurang atau lebih mulia dan luhur. Apabila dipandang dari sudut lain, yakni dari sudut tujuan dan hasil, setiap pekerjaan sungguh berbeda dan nilai pekerjaan yang satu melebihi nilai pekerjaan yang lain. Akan tetapi, nilai insani dan martabatnya tidak berubah karenanya.
2.       Makna Kerja
Ada berbagai makna kerja ditinjau dari berbagai segi. Di sini kita hanya melihat makna kerja ditinjau dari segi ekonomi, sosiologi, dan antropologi.
Ø  Makna atau arti ekonomis; Dari sisi ekonomi, bekerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan atau diinginkan oleh seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini dibedakan menjadi pekerjaan produktif (misalnya pertanian, pertukangan, dan sebagainya), distributif (misalnya perdagangan), dan jasa (misalnya guru, dokter, dan sebagainya). Kerja merupakan unsur pokok produksi yang ketiga, di samping tanah dan modal. Jadi, makna ekonomis dari kerja ialah memenuhi dan menyelenggarakan kebutuhankebutuhan hidup yang primer.
Ø  Makna sosiologis; Kerja, selain sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sekaligus juga mengarah kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat
Ø  Makna antropologis; Kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya. Dengan kerja, manusia menjadi lebih manusia dan lebih bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan umum.
3.       Tujuan Kerja
a)       Mencari nafkah. Kebanyakan orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan mempertahankannya.
b)       Memenuhi Nilai Jasmani . Memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis, yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan.
c)       Memajukan teknik dan kebudayaan. Nilai yang mau dicapai ini lebih bersifat rohaniah. Dengan bekerja orang dapat memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling tinggi.
d)       Menyempurnakan diri sendiri. Dengan bekerja manusia lebih menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Atau lebih tepat: ia mengembangkan kepribadiannya. Dengan kerja, manusia lebih memanusiakan dirinya.




C.      Kerja Menurut Ajaran Gereja

Kerja Sebagai Partisipasi dalam Kegiatan Sang Pencipta

Menurut Konsili Vatikan II: ”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah- Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi”.

Sabda perwahyuan Allah secara mendalam ditandai oleh kebenaran asasi, bahwa manusia, yang diciptakan menurut citra Allah, melalui kerjanya berperan serta dalam kegiatan Sang Pencipta, dan dalam batas-batas daya-kemampuan manusiawinya sendiri ia dalam arti tertentu tetap makin maju dalam menggali sumber-sumber daya serta nilai-nilai yang terdapat dalam seluruh alam tercipta. Kebenaran itu tercantum pada awal Kitab suci sendiri, dalam Kitab Kejadian , yang menyajikankarya penciptaan dalam bentuk ”kerja” yang dijalankan oleh Allah selama ”enam hari”, sedangkan Ia ”beristirahat” pada hari ketujuh. Selain itu kitab terakhir Kitab suci menggemakan sikap hormat yang sama terhadap segala yang telah dikerjakan oleh Allah melalui ”karya” penciptaan-Nya, bila menyatakan: ”Agung dan ajaiblah segala karya-Mu, ya Tuhan, Allah yang Mahakuasa!”Itu senada dengan Kitab Kejadian, yang menutup lukisan setiap hari penciptaan dengan pernyataan: ”Dan Allah melihat bahwa itu baik adanya”

Gambaran pencitaan, yang terdapat dalam bab pertama Kitab Kejadian dalam arti tertentu merupakan ”Injil Kerja” yang pertama. Sebab menunjukkan di mana letak martabat kerja: di situ diajarkan, bahwa manusia harus meneladan Allah Penciptanya dalam bekerja, sebab hanya manusialah yang mempunyai ciri unik menyerupai Allah. Manusia harus berpola pada Allah dalam bekerja maupun dalam dalam beristirahat, sebab Allah sendiri bermaksud menyajikan kegiatan- Nya menciptakan alam dalam bentuk kerja dan istirahat. Kegiatan Allah di dunia itu selalu berlangsung, seperti dikatakan oleh Kristus: ”Bapa-Ku tetap masih berkarya...”: Ia berkarya degnankuasa pencipta-Nya dengan melestarikan bumi, yang dipanggil-Nya untuk berada dari ketiadaan, dan Ia berkarya dengan kuasa penyelamat-Nya dalam hati mereka, yang sejak semula telah ditetapkan-Nya untuk ”beristirahat” dalam persatuan dengan diri-Nya di ”rumah Bapa”-Nya. Oleh karena itu kerja manusia pun tidak hanya memerlukan istirahat setiap”hari ketujuh”, melainkan tidak dapat pula terdiri hanya dari penggunaan tenaga manusiawi dalam kegiatan lahir. Kerja harus membuka peluang bagi manusia untuk menyiapkan diri, dengan semakin menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah, bagi ”istirahat” yang disediakan oleh Tuhan bagi para hamba dan sahabat- Nya.

Kesadaran, bahwa kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili, bahkan harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”.

Spiritualitas Kristiani kerja itu harus merupakan warisan bagi semua. Khususnya pada zaman modern, spiritualitas kerja harus menampilkan kematangan yang dibutuhkan untuk menanggapi ketegangan-ketegangan dan ketidak-tenangan budi dan hati. ”Umat kristiani tidak beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilkan oleh bakat-pembawaan serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin, bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan merupakan buah rencana-Nya yang tak terperikan. Adapun semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab bersama. Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan mereka justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu”.

Kesadaran, bahwa melalui kerja manusia berperan serta dalam karya penciptaan merupakan motif yang terdalam untuk bekerja di pelbagai sektor. ”Jadi”-menurut Konstitusi ”Lumen Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna sedalamdalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai....Maka dengan kompetensinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan
dalam cahaya Sabda-Nya”(LE 25)

Centesimus Annus (Ulang tahun ke seratus)
“....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buahhasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau : tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya denganbekerja. Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari  kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai 
seluruh bumi.....” (CA 31).


1.       Arti dan Makna Kerja Menurut Ajaran Gereja
Kerja atau bekerja adalah ciri hakiki hidup manusia. Dengan bekerja hidup manusia mempero leh arti. Dengan bekerja, seseorang merasa dirinya berharga di tengah keluarga dan masyarakat. Demi hormat terhadap martabat manusia tidak seorang pun boleh dihalangi bekerja. Demi harga diri setiap orang harus bekerja menanggung hidupnya sendiri dengan nafkah yang ia peroleh dan mendukung hidup bersama. Namun pekerjaan juga mempunyai makna religius. Allah sendiri dilukiskan sebagai Pencipta yang bekerja dari hari pertama sampai hari yang keenam dan pada hari yang ketujuh beristirahat dari pekerjaan yang dikerjakan-Nya. (Kej 1:1-2:3). Maka menyangkut hal ini perlu diperhatikan:
a)       Allah menyuruh manusia untuk bekerja.
b)       Dunia dan makhluk-makhluk lainnya diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk dikuasai, ditaklukkan dan dipergunakan. (Kej 1:28-30).
c)       Dengan demikian manusia menjadi wakil Allah di dunia ini. Ia menjadipengurus dan pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
d)       Dengan bekerja manusia bukan saja dapat bekerja sama dengan Tuhan, tetapi juga dengan Pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
e)       Dengan bekerja manusia mendekatkan dirinya secara pribadi dengan Allah! Manusia akhirnya teruntuk bagi Allah sebagai yang terakhir. Kerja, akhirnya merupakan salah satu bentuk pengabdian pribadi kepada Allah sebagai tujuan akhir manusia. Disini menjadi nyata bahwa kerja sungguh bisa mempunyai aspek religius, selain aspek pribadi dan sosial.

2.       Hubungan antara Kerja dan Doa
a.       Ora et labora! Berdoa dan bekerjalah! Doa mempunyai peranan penting dalam pekerjaan kita. Dapat disebut antara lain:
1)       Doa dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, lebih tabah dan tawakal.
2)       Doa dapat memurnikan pola kerja, motivasi dan orientasi kerja kita, apabila sudah tidak terlalu murni lagi. Doa sering merupakan saat-saat refleksi diri dan kerja yang sangat efektif.
3)       Doa dapat menjadikan kerja manusia mempunyai aspek religius dan adikodrati.
b.       Doa dan kerja memiliki keterkaitan yang sangat erat. Semakin kita bekerja maka seharusnya semakin kita berdoa. Karena:
1)       Ketika kerja semakin banyak, dapat membuat orang semakin tenggelam dan terikat pada kerja. Maka doa sebagai refleksi atas kerja harus ditingkatkan supaya kerja tetap murni dalam segala aspek.
2)       Kalau kerja semakin banyak, tentu semakin dibutuhkan kekuatan dan dorongan. Doa dapat menjadi kekuatan bagi orang beriman. Doa dan kerja seharusnya merupakan ungkapan dan perwujudan iman seseorang.

3.       Kerja dan Istirahat
a.       Kerja dan istirahat merupakan dua hal yang saling melengkapi. Karena memerlukan istirahat, manusia seharusnya bekerja menurut irama alam seperti yang dilakukan oleh para petani dalam masyarakat pedesaan: peredaran hari dan pergantian musim menetapkan irama kerja dan istirahat. Namun di dunia industri irama semacam itu hancur: orang bekerja dalam irama mesin dan di bawah perintah orang lain. Tidak jarang orang kehilangan haknya untuk beristirahat demi target produksi. Dengan demikian kerja bukan merupakan bagian hidup manusia lagi, tetapi hanya merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan di luar manusia. Dengan kata lain pekerjaan menjadi sarana produksi melulu dan dengan demikian merendahkan martabat manusia
b.       Perlu kita ingat pekerjaan itu bernilai karena manusia sendiri bernilai. Dalam situasi di mana manusia tidak dapat menikmati nilai kerjanya secara pribadi dan langsung, maka upah dan kedudukannya dalam masyarakatlah yang mengungkapkan nilai kerjanya. Dalam hal ini manusia dipandang dan diperlakukan sebagai alat produksi, bukan sebagai citra Allah, suatu hal yang merendahkan martabat manusia.
c.        Kitab Suci Kejadian menceritakan bahwa Allah sendiri juga bekerja. Sebagai Pencipta, Ia bekerja enam hari lamanya dan beristirahat pada hari yang ketujuh (Kej 1:1-2:3). Bahkan Ia tetap bekerja sampai hari ini (Yoh 5:17). Sebagai citra Allah, manusia harus meneladani Dia, juga dalam bekerja. Semua orang harus bekerja apa pun kedudukan sosialnya atau jenis kelaminnya; “Enam hari lamanya engkau akan bekerja…..” (Kej 23:12). Dengan bekerja sehari-hari manusia berpartisipasi dalam usaha Tuhan Pencipta; ia diajak untuk turut menyempurnakan diri sendiri dan dunia (mengembangkan alam raya dengan kerjanya). Sekaligus dengan bekerja manusia memuliakan Allah dan mengabdi kepada-Nya sebagai tujuan akhirnya.
d.       Dalam Kitab Suci dikatakan, bahwa Tuhan tidak hanya bekerja, tetapi juga beristirahat. Hari ketujuh merupakan hari istirahat, setelah enam hari sebelumnya Ia bekerja. Ia menyuruh manusia untuk beristirahat juga setelah bekerja: “…hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan suatu pekerjaan” (Kel 20:10). Maka sebagai citra Allah manusia tidak dapat dipaksa untuk bekerja secara terus menerus. Ia juga harus diberi kesempatan untuk beristirahat.
e.       Maka sebetulnya dalam firman Tuhan itu terkandung tiga kewajiban manusia; kewajiban bekerja, kewajiban beristirahat, dan kewajiban melindungi mereka yang harus bekerja dalam ketergantungan. Dengan demikian, hidup semua orang dilindungi. Jadi, jangan sampai kerja menjadi lebih penting daripada hidup dan hasil kerja dinilai lebih tinggi daripada manusia. Firman Tuhan mau membebaskan manusia dari penindasan manusia oleh pekerjaan dan perencanaannya sendiri. Tuhan menghendaki supaya manusia tetap tinggal sebagai “citra Allah” dan bukan alat produksi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panggilan Hidup Membiara

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan