Mengapa Gereja Katolik Lebih Lantang Dalam Pelayanan Keluar dibandingkan dengan Gereja Protestan?

Kamis (16/10) sore, sekitar jam 16.03 WIB saya membuka akun medsos Threads. Mata saya langsung tertuju pada akun solahasian. Ada beberapa pendapat yang bersambung, namun saya hanya mengambi salah satu tngkapan layar pada bagian pembukanya.Pemilik akun menulis sebagai berikut :

--------------------------------------------

Sebagai seseorang yang tumbuh di dalam tradisi Reformasi dan ajaran Calvin, saya kerap merenung: mengapa gereja Katolik dewasa ini terasa lebih lantang dalam pelayanan keluar, baik lewat karya sosial maupun suara kenabian di ruang publik, sedangkan banyak gereja Protestan justru terjebak pada pertengkaran internal, sibuk mengklaim mana yang benar dan mana yang sesat?

Salah satu jawabannya terletak pada struktur. Gereja Katolik memiliki sistem hierarki yang jelas, dengan Paus di Roma sebagai pusat komando. Hal ini membuat arah gerakan sosial lebih terkoordinasi. Program seperti Caritas Internationalis atau ensiklik Paus tentang lingkungan (Laudato Si’) bisa menjadi landasan bersama bagi jutaan umat Katolik di seluruh dunia. Energi mereka tidak banyak habis untuk menyenggol sesama, melainkan diarahkan pada pelayanan nyata.

Sebaliknya, gereja Protestan lahir dari semangat Reformasi yang menekankan kebebasan teologi dan otoritas Kitab Suci di atas tradisi manusia. Warisan ini memang mulia, tetapi dalam perjalanan sejarah justru melahirkan fragmentasi. Dari Lutheran, Calvinis, Anglikan, hingga Baptis dan Pentakosta, setiap denominasi meneguhkan identitasnya masing-masing. Akibatnya, tidak jarang perhatian lebih banyak tersedot pada perdebatan internal, bahkan persaingan antar-denominasi, ketimbang pada kerja sosial bersama.

Namun, bukan berarti Protestan tidak punya tradisi sosial. Di Eropa Utara, gereja Lutheran berperan besar dalam membentuk negara kesejahteraan modern. Quaker di Inggris dan Amerika aktif memperjuangkan penghapusan perbudakan. Gereja Reformed di Belanda memainkan peran penting dalam membangun masyarakat sipil yang demokratis. Hanya saja, sumbangan ini sering terpecah-pecah, tidak sekuat simbolisme Katolik yang terkoordinasi global.

Ada pula faktor historis lain: Konsili Vatikan II (1962–1965). Dari sinilah lahir semangat aggiornamento, pembaharuan dan keterbukaan pada dunia modern. Gereja Katolik sejak itu menegaskan bahwa iman harus diwujudkan dalam solidaritas sosial, keberpihakan pada kaum miskin, dan keberanian bersuara atas ketidakadilan. Konsili ini menjadi titik balik besar yang membuat Katolik berani hadir di ruang publik, bukan hanya di altar.

Sementara itu, banyak gereja Protestan di abad ke-20 justru makin sibuk dengan “perang doktrin” melawan modernisme atau sekularisme. Ada yang menarik diri ke dalam “menara gading” teologi, ada pula yang menekankan identitas moral secara sempit. Akibatnya, suara profetis Protestan sering terdengar parsial, bukan satu arus besar yang kuat seperti Katolik.

Jika disederhanakan, kekuatan Katolik terletak pada kesatuan dan teologi sosial yang sistematis, sedangkan Protestan menghadapi kelemahan berupa keragaman yang kadang berubah menjadi perpecahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menakar Peluang PSN Ngada di Liga 4 ETMC NTT

PSN Ngada, Selangkah Lagi Menuju Jalan Terjal

PSN Ngada Menuju Babak Delapan Besar