Panca Tugas Gereja
Konsep Gereja
Terminologi Gereja dimaknai dalam banyak perspektif seperti dalam hidup sehari-hari, Gereja dipahami sebagai gedung Gereja yaitu : rumah Allah, tempat beribadat, misa, atau merayakan ekaristi Umat Katolik atau Umat kristiani pada umumnya. Istilah “Gereja” dalam kata bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis igreja yang berasal dari kata Yunani ekklesia dan dalam kata Latin disebut ecclesia. Kata Yunani ekklesia (= mereka yang dipanggil, kaum, golongan). Ekklesia juga berarti kumpulan atau pertemuan, rapat. Namun Gereja atau ekklesia bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Untuk menonjolkan kekhususan dipakailah kata asing. Kadang-kadang dipakai kata jemaat atau Umat.Kata ‘Gereja’ digunakan baik untuk gedung-gedung ibadat maupun untuk Umat Kristen setempat (jemaat, Umat) dan Umat seluruhnya.
Gereja diartikan sebagai Umat Allah merupakan defenisi yang sudah sangat tua. Istilah itu bisa kita simak dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL), misalnya dalam Kel. 6: 6;33:13; Yeh. 36:28; Ul. 7:6,26:15.Istilah Umat Allah itu kemudian diperkenalkan sebagai paham yang baru dalam Gereja, menggantikan paham yang sudah lebih dulu dianut Gereja.
Demikian dengan pesan tentang Gereja yang tersirat dalam Kis.2:41-47, 1 Kor.12:7-11 dan 1 Kor.12:12-18 yang menekankan bahwa hakikat Gereja adalah persaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Perdana (lih. Kis 2: 41-47). Sebagai umat Allah banyak karisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima, dan digunakan untuk kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja yang terlalu menampilkan segi organisatoris dan struktural dapat mematikan banyak karisma dan karunia yang muncul dari bawah (1Kor 12: 7-10). Semua orang yang merasa menghayati martabat yang sama akan bertanggung jawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia (Ef 4: 11-13; 1Kor 12: 12-18; 26-27).
Konsili Vatikan II (1962-1965) memilih istilah biblis Umat Allah untuk menyebut para pengikut Yesus Kristus, yaitu mereka semua para anggota Gereja yang telah dibaptis. Umat Katolik bersekutu sepenuhnya dengan Gereja Kristus melalui rahmat, sakramen-sakramen, pengakuan iman, serta persekutuan dengan para uskup gereja yang bersatu dengan Paus. Paham Gereja sebagai Umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki nilai historis dengan Umat Allah Perjanjian Lama, karena Gereja menganggap diri sebagai Israel Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.
Dalam Katekismus Gereja Katolik merumuskan pengertian Gereja sebagai “himpunan orang-orang yang digerakkan untuk berkumpul oleh Firman Allah, yakni, berhimpun bersama untuk membentuk Umat Allah dan yang diberi santapan dengan Tubuh kristus, menjadi Tubuh Kristus” (No 777)
Panggilan Umat Allah
Sebagaimana Yesus mengutus murid-muridNya untuk mempermaklumkan Kerajaan Allah, begitu juga dengan Gereja dipanggil untuk menyebarkan Kerajaan Allah ( Frans Magnis Susesno, 2017:159). Gereja yang adalah himpunan umat Allah itu keberadaanya dilokalisir dalam hidup teritorial yang disebut paroki dan berakar pada lingkungan. Melalui hidup berparoki dan berlingkungan inilah himpunan Umat Allah dipanggil untuk mengambil bagian dan terlibat dalam menghidupkan peribadatan yang menguduskan (Liturgia), mengembangkan pewartaan Kabar Gembira (Kerygma), menghadirkan dan membangun persekutuan (Koinonia), memajukan karya cinta kasih/pelayanan (Diakonia) dan memberi kesaksian sebagai murid-murid Tuhan Yesus Kristus (Martyria).
Gereja yang Menguduskan (Liturgia)
Liturgi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, leitourgia, yang berarti kerja bersama. Kerja bersama ini mengandung makna peribadatan kepada Allah dan pelaksanaan kasih, dan pada umumnya istilah liturgi lebih banyak digunakan dalam tradisi Kristen, antara lain umat Katolik. Dalam sudut pandang iman Katolik, liturgi adalah kegiatan dari Kristus Paripurna, dalam bahasa Latin Christus totus, atau Kristus seluruhnya, yaitu Kristus di surga sebagai kepala dan seluruh jemaat-Nya yang masih ada di dunia, yaitu Gereja yang merupakan Tubuh Kristus, dalam korban pujian dan syukur kepada Allah.
Sebagai anggota Tubuh Kristus yang mengembara di dunia, kita telah disucikan dari segala dosa oleh Roh Kudus yang diterima melalui sakramen Baptis. Bahkan oleh Paulus menyebut para pengikut Yesus dengan predikat “bait Allah” karena Roh Allah tinggal dalam hati mereka (1 Kor.3:16). Kekudusan anggota Tubuh Kristus yang masih hidup di dunia sering kali mengalami intimidasi dosa. Dalam rangka merawat kekudusan umat Allah, Gereja menyediakan sarananya yaitu doa dan ritus-ritus.
Liturgi juga merupakan perayaan iman.Perayaan iman tersebut adalah pengungkapan iman Gereja, di mana orang yang ikut dalam perayaan iman mengambil bagian dalam misteri yang dirayakan. Tentu saja bukan hanya dengan partisipasi lahiriah, tetapi yang pokok adalah hati yang ikut menghayati apa yang diungkapkan dalam doa
Doa merupakan tindakan kesalehan dan usaha penyatuan diri manusia dengan Allah untuk memohon karunia dari-Nya serta bentuk komunikasi antara manusia dan Tuhan. Paus Yohanes Paulus II pernah menyampaikan pesan bahwa, “Orang Katolik harus belajar membentuk keluarga mereka sebagai Gereja domestic, Gereja rumah tangga, dimana Allah dihormati, hukumnya ditaati, doa menjadi sebuah kebiasaan, keutamaan diajarkan dengan perkataan dan perbuatan, serta setiap pribadi membagikan harapan, persoalan, dan beban datu sama lain”. Lewat amanat ini Paus mau menyampaikan bahwa doa sebagai sarana untuk menguduskan perlu diajarkan sejak dini.
Sebagai media komunikasi manusia dengan Tuhan jenis doa juga bermacam-macam antara lain ; doa pribadi (yang diungkapkan secara prbadi, lahir dari dalam hati seseorang, berdasarkan pengalaman pribadi dan bersumber dari berbagai buku liturgy), doa devosi adalah kebaktian khusus kepada berbagai misteri iman yang dihubungkan dengan pribadi tertentu (orang kudus), dan doa liturgis atau doa resmi Gereja yakni perayaan resmi Gereja untuk mengungkapkan iman dalam kebersamaan dengan seluruh umat Allah (ibadat, perayaan sakramen, perayaan sacramental).
Aspek yang tidak boleh diabaikan selain konsep doa yakni ; Fungsi doa bagi orang Kristiani, antara lain: mengkomunikasikan diri kita kepada Allah;mempersatukan diri kita dengan Tuhan; mengungkapkan cinta, kepercayaan, dan harapan kita kepada Tuhan; membuat diri kita melihat dimensi baru dari hidup dan karya kita, sehingga menyebabkan kita melihat hidup, perjuangan dan karya kita dengan mata iman; mengangkat setiap karya kita menjadi karya yang bersifat apostolis atau merasul. Syarat dan cara doa yang baik; didoakan dengan hati; berakar dan bertolak dari pengalaman hidup; diucapkan dengan rendah hati. Cara-cara berdoa yang baik: Berdoa secara batiniah.“Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamar …” (lih. Mat 6: 5-6). Berdoa dengan cara sederhana dan jujur, “Lagi pula dalam doamu janganlah kamu bertele-tele … “ (lih. Mat 6: 7).
Ritus yang diwariskan Gereja sejak abad ke -11 adalah Sakramen yaitu tanda dan sarana yang ditetapkan oleh Kristus yang memberikan rahmat dari Allah untuk keselamatan manusia. Melalui Konsili Lyon II (1274) ditetapkan tujuh sakramen yaitu; Baptis, Ekraristi, Penguatan, Tobat, Perkawinan, Imamat, dan Pengurapan Orang Sakit.
Gereja juga mengadakan tanda-tanda suci (berupa ibadat/upacara/ pemberkatan) yang mirip dengan sakramen-sakramen yang disebut sakramentali. Berkat tanda-tanda suci ini berbagai buah rohani ditandai dan diperoleh melalui doa-doa permohonan dengan perantaraan Gereja. Aneka ragam sakramentali:
Ø Pemberkatan, yakni pemberkatan orang, benda/barang rohani, tempat, makanan,
dsb. Contoh: pemberkatan ibu hamil atau anak, alat-alat pertanian, mesin
pabrik, alat transportasi, rumah, patung, rosario, makanan, dsb. Pemberkatan
atas orang atau benda/barang tersebut adalah pujian kepada Allah dan doa untuk
memohon anugerah-anugerah-Nya.
Ø Pemberkatan dalam arti tahbisan rendah, yakni
pentahbisan orang dan benda. Contoh pentahbisan/pemberkatan lektor, akolit, dan
katekis; pemberkatan benda atau tempat untuk keperluan liturgi, misalnya
pemberkatan gereja/kapel, altar, minyak suci, lonceng, dan sebagainya.
Gereja yang Mewartakan (Kerygma)
Kerygma berasal dari kata bahasa Yunani kêrugma. Dalam Perjanjian Baru, kata ini diartikan sebagai “pewartaan” (lih. Luk 4:18-19, Rom 10:14, Mat 3:1). Kata kerygma berelasi dengan kata kerja keryssein yang artinya “memaklumkan”, mewartakan, mengumumkan, memproklamasikan” dan kata keryx yang artinya “khalayak, publik, orang banyak.”
Kata kerygma sendiri muncul 9 kali dalam Perjanjian Baru, yakni di Matius 12:41, Markus 16:20, Lukas 11:32, dan enam kali dalam Surat Rasul Paulus (Rom 16:25; 1Kor 1:21, 2:4, 15:14; 2Tim 4:12; dan Titus 1:3). Kerygma, dengan demikian, adalah pesan utama iman Kristiani di mana setiap orang yang telah dibaptis dipanggil untuk mewartakannya.
Dasar biblis dimensi Karygma adalah Injil Matius 28:16-20 . Firman ini tidak hanya berlaku pada zaman para rasul saja, tetapi juga bagi kita semua pengikut Kristus Yesus pada zaman modern ini, bahwa kita wajib untuk mewartakan injil, tentu saja dengan cara yang berbeda-beda.
Tugas pewartaan pada dasarnya adalah tugas hierarki, namun para awam dapat berpartisipasi dalam tugas ini. Pewartaan awam lebih dalam bentuk kesaksian hidup.Ciri khas dan keistimewaan kaum awam adalah sifat keduniaannya. Berdasarkan panggilan mereka, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan menguasai hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Kaum awam memancarkan iman, harapan, dan cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada semua orang (bdk. Lumen Gentium, Art. 31).
Perintah resmi Kristus itu mewartakan kebenaran yang menyelamatkan itu oleh Gereja diterima dari para Rasul, dan harus dilaksanakan sampai ujung bumi (lih. Kis 1:8). Maka Gereja mengambil alih sabda Rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor 9:16). Maka dari itu gereja terus-menerus mengutus para pewarta, sampai Gereja-Gereja baru terbentuk sepenuhnya, dan mereka sendiripun melanjutkan karya pewartaan Injil.
Dalam mewartakan sabda Allah, kita dapat mewartakannya secara verbal melalui kata-kata (kerygma), tetapi juga dengan tindakan (martyria). Pewartaan verbal merupakan tugas hierarki, tetapi para awam diharapkan untuk berpartisipasi dalam tugas ini, misalnya sebagai katekis, guru agama, fasilitator pendalaman Kitab Suci, dsb. Bentuk-bentuk pewartaan masa kini, antar lain:
Bentuk Pewartaan Verbal |
Penjelasan |
Kotbah atau Homili |
Kotbah
adalah pewartaan tematis. Homili adalah pewartaan yang berdasarkan suatu
perikope Kitab Suci. Kedua-duanya merupakan pewartaan dari mimbar. Kotbah dan
homili yang baik harus menyapa manusia. Walaupun secara lahiriah terjadi
komunikasi satu arah, tetapi kotbah yang baik harus dapat menciptakan
komunikasi dua arah secara batiniah |
Pelajaran agama |
Dalam
pelajaran agama diharapkan para guru agama mendampingi para siswa untuk
menemukan makna hidupnya dalam terang Kitab Suci dan ajaran Gereja. Pelajaran
agama adalah proses pergumulan hidup nyata dalam terang iman. |
Katekese Umat |
Katekese
umat adalah kegiatan suatu kelompok umat, dimana mereka aktif berkomunikasi
untuk menafsirkan hidup nyata dalam terang Injil, yang diharapkan
berkelanjutan dengan aksi nyata, sehingga dapat membawa perubahan dalam masyarakat ke arah yang
lebih baik |
Pendalaman Kitab Suci, dsb |
Pendalaman
Kitab Suci dapat dilakukan dalam keluarga, kelompok, atau pada
kesempatan-kesempatam khusus seperti pada
masa Prapaskah (APP), masa Adven, dan pada bulan Kitab Suci
(September) |
Dalam mengaktualisasikan sabda Tuhan (kerygma) hendaknya memperhatikan
beberapa tuntunan yakni : Pertama, Meningkatkan kapasitas untuk mendalami dan
menghayati sabda Tuhan Pengenalan dan penghayatan yang diwartakan adalah sabda
Allah. Orang tidak dapat mewartakan sabda Allah dengan baik, jika ia sendiri
tidak mengenal dan menghayatinya. Oleh sebab itu, kita hendaknya cukup
mengenal, mengetahui, dan menghayati isi Kitab Suci, ajaran-ajaran resmi
Gereja, dan keseluruhan tradisi Gereja, baik Gereja universal maupun Gereja
lokal. Kita hendaknya senantiasa membekali diri dengan berbagai bacaan,
penataran, dan macam-macam pembekalan lainnya. Kedua, Mengenal umat/masyarakat
konteksnya. Pengenalan latar belakang dari orang-orang yang kepadanya sabda
Allah akan disampaikan tentu sangat penting. Kita harus mengenal jiwa dan
budaya mereka. Dengan kata lain, pewartaan kita harus sungguh menyapa para
pendengarnya, harus inkulturatif. Karena itu, pengenalan dan kepekaan terhadap
lingkup budaya seseorang atau masyarakat sangat dibutuhkan. Pengenalan akan
lingkup budaya dapat kita timba dari berbagai bacaan dan keterlibatan kita yang
utuh kepada manusia dan budayanya. Kita hendaknya “menyatu dengan mereka yang
kepadanya kita akan mewartakan kabar gembira itu”.
Gereja yang Menjadi Saksi Kristus (Martyria)
Martyria berasal dari bahasa Yunani yaitu marturion yang artinya kesaksian. Kesaksian adalah keterangan atau pernyataan yang diberikan oleh saksi. Kesaksian berasal dari kata dasar saksi (bdk. KBBI). Saksi adalah orang yang mengalami (melihat, mendengar dan mengetahui) suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan atau pernyataan yang benar tentang peristiwa tersebut.
Pewartaan dalam bentuk kesaksian hidup mungkin sangat relevan bagi kita di Indonesia. Kita hidup di tengah bangsa yang sangat majemuk dalam kepercayaan dan budaya. Pewartaan verbal mungkin kurang simpatik dibandingkan dengan pewartaan lewat dialog, termasuk dialog hidup, di mana kita mewartakan iman kita melalui kesaksian hidup kita. Kita dapat menunjukkan hidup yang penuh kasih dan persaudaraan di tengah situasi yang sarat dengan semakin maraknya sikap dan narasi intolenransi, permusuhan, kekerasan, dan teror. Kita dapat menunjukkan hidup yang bersemangat solider di tengah suasana hidup yang serakah dan korup karena didorong oleh nafsu kepentingan diri atau golongan
Menjadi saksi Kristus berarti menyampaikan atau menunjukkan apa yang dialami dan diketahuinya tentang Yesus Kristus kepada orang lain. Penyampaian penghayatan dan pengalaman akan Yesus itu dapat dilaksanakan melalui katakata, sikap, dan perbuatan nyata. Menjadi saksi Kristus akan menuai banyak risiko seperti yang dialami St. Stefanus, martir pertama, dan para martir atau saksi Kristus lainnya disepanjang segala abad. Yesus telah berkata: “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah (Yoh 16: 2). Yesus sendiri telah menjadi martir. Ia menderita dan wafat disalib demi Kerajaan Allah. kesaksiankesaksian konkret apa saja yang dapat ia lakukan di tengah lingkungannya sebagai seorang Kristiani ?.
Gereja yang Membangun Persekutuan (Koinonia)
Kata yang dipakai untuk persekutuan dalam bahasa Yunani adalah Koinonia yang berasal dari kata dasar koinos yang berarti lazim atau umum. Artinya berkaitan dengan kebersamaan. Landasan pijak tugas Gereja yang keempat ini adalah Efesus 2:19 “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing danpendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah”.
Demikian juga dalam Galatia 2:9, digambarkan bahwa Paulus dan Barnabas dengan berjabatan tangan sebagai tanda persekutuan diterima secara penuh dalam persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama kepada Kristus. Tanda hubungan erat antara kedua belah pihak, bahwa mereka bersekutu dalam Kristus. Maka koinonia (persekutuan) mempunyai dasar dan tujuan yang berasal dari Yesus Kristus.
Jikalau persekutuan ini mengganti dasar yang sudah diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus maka persekutuan ini kehilangan hakekatnya dan secara azasi bukan persekutuan (koinonia) lagi. Koinonia adalah persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun banyak anggota namun membentuk satu tubuh Kristus. Di dalam Koinonia ini kita tidak hanya sekedar bersekutu, tetapi kita mengabarkan Injil Kerajaan Allah melalui perkataan/ kesaksian (Martyria) maupun perbuatan /pelayanan (Diakonia) dimana saja kita berada. Oleh karena itu kita diarahkan untuk memahami makna dan hakikat Gereja yang membangun persekutuan, antara lain melalui Kelompok Kecil Umat (KKU) dan Komunitas Basis Gerejani (KGB) serta lingkungan sebagai akar dari paroki.
Gambaran tentang persekutuan umat atau komunitas basis model jemaat perdana (Kis 4:32-37) dapat menjadi model atau cermin bagi kita untuk membangun persekutuan umat atau Komunitas Basis. Model Komunitas Umat perdana itu tidak dimaksudkan hanya untuk kelompok kecil umat saja, tetapi sesungguhnya model hidup (gaya hidup) Jemaat Perdana itu juga merupakan patron dan acuan untuk model atau cara hidup Gereja (umat beriman) sepanjang waktu, partikular maupun universal. Artinya bahwa cara hidup jemat perdana itu juga tetap merupakan cita-cita yang terus-menerus diupayakan, diperjuangkan dan diwujudkan oleh umat beriman sepanjang waktu.
Ciri-ciri utama cara hidup jemaat perdana itu nampak sangat menonjol dalam lima hal yaitu adanya: pertama, Persaudaraan/persekutuan. Kedua, Mendengarkan Sabda/pengajaran. Ketiga, Pelayanan terhadap sesama/solidaritas. Keempat, Perayaan iman/pemecahan roti/doa. Kelima, Memberi kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka. Karena cara hidup demikian, mereka disukai semua orang, jumlah mereka makin lama makin bertambah dan mereka sangat dihormati orang banyak.
Situasi mengaharuskan mereka untuk menemukan pola hidup baru yang mereka sebagai orang-orang yang telah dibaptis, yang percaya kepada Tuhan. Awal abad pertama mereka adalah merupakan kelompok kecil (minoritas) di tengah kelompok (lingkungan) lain yang jauh lebih besar, bahkan mungkin mengancam mereka juga. Lima perilaku yang dilakukan mereka jalani hanya demi iman mereka akan Tuhan Yesus. Iman adalah inspirasi, penggerak utama, dan sumber kekuatan bagi mereka dalam melakukan hal terbaik yang terbaik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain di sekitar mereka.
Komunitas mereka sangat hidup, inklusif, sangat aktif dan sangat dinamis. Dan yang paling menarik ialah cara hidup mereka, cara berada mereka sangat efektif, berdampak sangat positif bagi orang-orang lain di sekitar mereka, sehingga mereka disukai semua orang (Kis 2:47), jumlah orang yang percaya kepada Tuhan makin hari makin bertambah (Kis.2:47; Kis. 5:14), dan mereka sangat dihargai oleh orang banyak (Kis. 5:13).
Jadi komunitas Jemaat Perdana adalah komunitas iman, komunitas spiritual, komunitas yang digerakkan oleh Roh Kudus, komunitas orang-orang yang bertobat (mau berubah), bukan komunitas yang terbentuk pertama-tama karena alasan-alasan (kepentingan) sosial, ekonomi atau kekuasaan. Tatanan duniawi, urusan sosial-ekonomi justru diresapi, dijiwai, digerakkan, oleh/karena iman mereka akan Tuhan itu dan bukan sebaliknya.
Gereja yang Melayani (Diakonina)
Kata “diakonia” berasal dari bahasa Yunani yaitu “diakonein” artinya pelayan meja, Diakonia dianggap sebagai pelayanan yang dilakukan oleh seorang hamba yang melayani meja makan, dan pekerjaan ini dianggap rendah.
Gereja (Umat Allah) dipanggil untuk melayani manusia, seluruh umat manusia. “Melayani” adalah kata penting dalam ajaran Yesus. Pada Malam Perjamuan Terakhir, Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa para pengikut Yesus harus merendahkan diri dan rela menjadi pelayan bagi sesamanya. Jika orang ingin menjadi terkemuka, ia harus rela menjadi pelayan. Yesus sendiri menegaskan: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mrk 10: 45)
Barangsiapa menyatakan diri murid Kristus, “ia wajib hidup seperti Kristus” (1Yoh 2: 6). Kristus yang “mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2: 7) tidak ada artinya jika murid-murid-Nya mengambil rupa seorang penguasa. Melayani berarti mengikuti jejak Kristus.
Implementasi bentuk pelayanan dari Gereja sebagai Umat Allah mengarah pada pelayanan ke dalam (intern) seperti ; kelompok kunjungan orang sakit, kelompok kerja bakti komplek Gereja, kepengurusan Gereja baik lingkungan, wilayah, DPP, dll. Sedangkan formulasi pelayanan keluar (eksternal) atau masyarakat luas sudah ada sejak semenjak adanya kesadaran akan eksistensinya dalam masyarakat dunia yang terwujud dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Gereja justru menunjukkan wajahnya dalam sekian banyak bentuk dan Gereja Katolik justru dihargai karena berbagai bentuk pelayanan sosial ( Frans Magnis Suseno : 2017).
Secara kasat mata bentuk pelayanan kepada masyarakat (eksternal) tampak dalam berbagai bidang antara lain; kesehatan, pendidikan, budaya, ekonomi, sosial masyarakat, hokum, dan politik.
Bidang
Pelayanan
|
Uraian |
Kesehatan |
Gereja mendirikan rumah sakit dan poliklinik untuk memperbaikai
dan meningkatkan kesehatan masyarakat |
Pendidikan |
Gereja mendirikan dan membangun sekolah-sekolah dan lembaga
kursus untuk meningkat ketrampilan dan sumber daya manusia |
Budaya |
Gereja menyiapkan wadah untuk membangun seni budaya setempat
serta pelestarian budaya yang bernilai bagi masyarakat |
Ekonomi |
Gereja mendirikan lembaga-lembaga sosial ekonomi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kesejahteraan masyarkat |
Sosial Masyarakat |
Gereja mendirikan lembaga-lembaga sosial untuk membantu
menangani persoalan-persoalan sosial dalam masyarakat |
Hukum dan Politik |
Gereja menyiapkan wadah pembinaan politik dan pelayanan hokum bagi
masyarakat serta memberikan pelayanan kepada orang-orang yang berada di
penjara |
Ø Bersikap sebagai pelayan
Yesus menyuruh para murid-Nya selalu bersikap sebagai “yang paling
rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua” (Mrk 9: 35). Yesus sendiri
memberi teladan dan menerangkan bahwa demikianlah kehendak Bapa. Menjadi
pelayanan adalah sikap iman yang radikal.
Ø Kesetiaan kepada Kristus sebagai Tuhan dan Guru
Ciri religius pelayanan Gereja ialah menimba kekuatannya dari sari
teladan Yesus Kristus
Ø Orientasi pelayanan Gereja terutama ditunjukkan kepada kaum kecil,
lemah, miskin, tersingkir, dan difabel : Mereka bukanlah obyek belas kasihan
Ø Kerendahan hati
Dalam pelayanan, Gereja (kita) harus tetap bersikap rendah hati.
Gereja tidak boleh berbangga diri, tetapi tetap melihat dirinya sebagai “hamba
yang tak berguna” (Luk 17: 10)
Disajikan oleh John Lobo dalam rangka belajar bersama Pembina Sakramen Inisiasi Paroki Santo Yosef Mojokerto pada hari Jumat, tanggal 10 Desember 2021 di Balai Paroki St Yosef Mojokerto
Komentar
Posting Komentar